Menurut dia, pemerintah juga akan tepat membangun kawasan industri dan wisata tersebut di lokasi yang sama. Pemerintah tak akan lagi mencari solusi dengan mencari lahan lain ketika terjadi polemik yang sekadar soal komunikasi.
Luhut memaparkan, Rempang Eco City akan menjadi ekosistem industri hijau yang sangat besar. Proyek tersebut akan menjadi rumah dari pengembangan industri teknologi fotovoltaik, solar panel, dan semi konduktor. Produksi pada industri hijau ini juga akan mendongkrak tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
"Jadi sebelum mengkritik, cek dulu bener nggak itu. Jadi jangan asal ngomong aja," ujar Luhut.
Rempang Eco City adalah proyek Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam), Pemerintah Kota Batam, dan PT Makmur Elok Graha (MEG). MEG sendiri adalah anak perusahaan Grup Artha Graha milik Tomy Winata yang sudah mendapat hak pengelolaan sejak 2003.
Rempang Eco City yang akan menjadi saingan baru bagi industri dan wisata milik Singapura serta Malaysia. Biaya pembangunan kawasan yang memiliki destinasi ekowisata berupa hutan mangrove. Sejumlah fasilitas berupa hotel, restoran, pusat belanja, dan hiburan juga akan menopang industri MICE (meeting, incentives, conferences, and exhibitions) diprediksi mencapai Rp43 triliun.
Kawasan ini diprediksi akan menarik investasi hingga Rp381 triliun dan menyerap lebih dari 306 ribu tenaga kerja pada 2080. Salah satunya, investasi perusahaan kaca terbesar China, Xinyi International Investment Limited yang akan menggelontorkan dana sekitar Rp174 triliun untuk membangun pusat pengolahan pasir kuarsa atau pasir silika.
"Kita [Indonesia] tuh jadi pusat karena sekarang itu ada pertikaian dari para negara-negara besar. Kita menjadi alternatif," ujar Luhut.
(frg)