Pembengkakan biaya proyek tersebut, disebutkan oleh KCIC seperti dikutip dari media lokal, di antaranya akibat melonjaknya biaya pengadaan lahan, lalu kondisi geologi di tunnel 2, kemudian karena pecah pandemi Covid-19 yang menghambat proyek. Ditambah penggunaan frekuensi GSM-R yang memakan biaya investasi di luar anggaran awal, juga biaya instalasi listrik dan lain-lain.
Indonesia sempat meminta agar bunga pinjaman diturunkan oleh China. Namun, alih-alih memberikan penurunan bunga pinjaman dari 3,4% menjadi 2%, China justru mendesak pemberian penjaminan APBN untuk proyek swasta tersebut. Sebuah desakan yang akhirnya dipenuhi oleh pemerintah RI bulan ini melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89 tahun 2023 yang efektif diberlakukan 11 September 2023.
Ada beberapa pasal krusial dalam beleid terbaru itu yang mengatur skema penjaminan proyek. Di antaranya adalah, pasal 3 "Penjaminan pemerintah diberikan dengan mempertimbangkan prinsip kemampuan keuangan negara, kesinambungan fiskal dan pengelolaan risiko fiskal."
Lalu, pasal 4 "Penjaminan pemerintah diberikan atas keseluruhan dari. kewajiban finansial PT KAI terhadap kreditur berdasarkan perjanjian pinjaman. Kewajiban finansial terdiri atas pokok pinjaman, bunga pinjaman dan biaya lain yang timbul"
Sementara dalam pasal 5, diatur tata cara penjaminan pemerintah. Pemohon jaminan mengajukan permohonan kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. Dirjen PPR akan melakukan evaluasi pengajuan jaminan bersama Badan Usaha Penjaminan Indonesia (BUPI).
Bila disetujui maka penjaminan akan dilakukan bersama oleh BUPI dan pemerintah. Dalam pasal 10 ayat 7 disebutkan "Penjaminan pemerintah melalui dokumen penjaminan diberikan secara penuh, tanpa syarat dan tidak dapat dicabut kembali serta mengikat penjamin sesuai ketentuan dokumen penjaminan".
Beleid tersebut juga menegaskan bahwa yang dimaksud sebagai pihak penjamin adalah pemerintah atau pemerintah bersama BUPI.
Proyek Jalur Sutera Baru
Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung adalah satu dari sekian banyak proyek di bawah payung Belt and Road Initiative China di Indonesia.
Berdasarkan AidData 2021, Indonesia menempati posisi kedua di jajaran 10 negara teratas proyek infrastruktur Belt and Road Initiative dengan nilai proyek mencapai US$ 20,3 miliar, dengan jumlah proyek mencapai 71 proyek.
Mengacu pada hasil kajian yang dirilis oleh Centre of Economic and Law Studies (CELIOS) beberapa waktu lalu, ketergantungan Indonesia terhadap China termasuk dalam hal kerjasama proyek infrastruktur yang melibatkan utang dalam nilai besar, membuka risiko jebakan utang (debt trap) yang sejauh ini sudah terjadi di beberapa negara lain seperti Sri Lanka.
"Indonesia harus menyiapkan strategi mitigasi untuk terhindar dari debt trap. Dengan nilai utang Indonesia pada China yang semakin fantastis nilainya, di mana nilainya diperkirakan akan terus meningkat seiring masuknya proyek Belt and Road Initiative lain yang ditandatangani. Ada kekhawatiran risiko gagal bayar yang bisa menyebabkan kerugian lebih besar di masa depan," tulis analis dan peneliti CELIOS Yeta Purnama dan Zulfikar Rakhmat.
Mewaspadai jebakan utang terkait proyek kerjasama dengan Tiongkok, menurut analis bukan sebuah tuduhan tanpa dasar karena telah banyak preseden serupa di negara lain.
Secara historis, dalam beberapa tahun terakhir, sudah ada beberapa negara yang divonis gagal bayar dan terperangkap dalam utang yang besar dengan China di bawah proyek Belt and Road Initiative.
Jebakan utang itu tidak bisa dilepaskan dari pola skema pinjaman China di mana ketika negara peminjam tidak mampu membayar utang, maka China akan membatasi kemampuan manuver pemerintah tersebut dalam berdaulat, demikian tulis Celios. Sebagai konsekuensi, China bisa mengambil alih kepemilikan atas proyek yang dibangun.
Pada beberapa kasus negara yang terjerat utang China, seperti Sri Lanka misalnya dalam proyek pembangunan pelabuhan Hambantota, kebanyakan berangkat dari skema kredit yang cenderung berat sebelah.
"China memberikan pembebanan skema kredit yang tinggi di mana persyaratan pinjaman untuk proyek memicu polemik tersendiri karena pencairannya mewajibkan negara mitra membeli 70% bahan baku dari China dan mempekerjakan pekerja dari Tiongkok dalam jumlah besar. Kondisi itu bukanlah kerja sama yang imbang karena lebih menguntungkan investor China dan berimbas memberatkan pelaku industri lokal,"
Centre of Economic and Law Studies
"China memberikan pembebanan skema kredit yang tinggi di mana persyaratan pinjaman untuk proyek memicu polemik tersendiri karena pencairannya mewajibkan negara mitra membeli 70% bahan baku dari China dan mempekerjakan pekerja dari Tiongkok dalam jumlah besar. Kondisi itu bukanlah kerja sama yang imbang karena lebih menguntungkan investor China dan berimbas memberatkan pelaku industri lokal," papar analis.
Apa yang terjadi pada Zimbabwe juga bisa jadi wake up call. Negeri di Afrika itu menerima pinjaman besar dari China untuk memberantas pemberontak di perbatasan.
Akan tetapi, mereka tidak mampu membayar kala utang jatuh tempo dan sebagai ganti penghapusan utang, Zimbabwe harus menandatangani perjanjian menambahkan yuan sebagai salah satu mata uang legal negeri itu sejak 2016 lalu. Bukan cuma Zimbabwe yang terjerat debt trap Tiongkok. Uganda dan Sri Lanka juga mengalami hal serupa.
Di luar tiga nama itu, ada beberapa negara yang disoroti oleh analis memiliki risiko tinggi terjebak perangkap utang akibat proyek yang dinaungi Belt and Road Initiative di antaranya meliputi Kazakhstan, Mongolia, Malaysia, Vietnam, Kamboja, Laos, termasuk Indonesia.
Setidaknya ada 9 proyek kerjasama Indonesia dan China yang mengalami skandal dan kontroversi dengan nilai mencapai US$5.224 juta, menurut AidData. Sedangkan nilai proyek yang bermasalah dari sisi lingkungan mencapai 6 proyek dengan nilai US$4.651 juta.
Menuntut transparansi
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam pernyataan sebelumnya mengatakan, pemerintah ingin pembengkakan biaya pada proyek KCJB ditanggung bersama-sama oleh Indonesia dan China sesuai porsi kepemilikan saham. Dengan kata lain, penyelesaiannya adalah dengan skema B2B.
Namun, China berkeras meminta APBN menjadi penjamin untuk pinjaman proyek tersebut. Sri Mulyani akhirnya luluh dan mengeluarkan regulasi yang memastikan ada jaminan dari negara untuk proyek KCJB itu.
"Aturan dalam PMK 89/2023 sebaiknya ditinjau ulang dan dikonsultasikan ke DPR. Selain itu pemerintah harus terbuka ke publik terhadap skenario beban APBN sebagai implikasi penjaminan. Publik wajib meminta keterangan rinci, berapa besar anggaran yang akan muncul dari penjaminan, risiko detail likuiditas KAI, hingga berapa bunga dalam rupiah yang ditanggung selama masa penjaminan utang," kata Bhima.
Utang RI ke China meroket
Dalam kurun 10 tahun terakhir, beban utang Indonesia pada China semakin meroket.
Mengacu pada statistik Utang Luar Negeri yang dirilis Bank Indonesia terakhir, di tengah tren penurunan posisi ULN RI, nilai utang Indonesia pada Tiongkok terus melesat.
Posisi ULN Indonesia pada China per Juli 2023 mencapai US$ 21,26 miliar atau sekitar Rp326 triliun. Angka itu menjadi yang tertinggi sejak September lalu.
Dalam satu dasawarsa terakhir, atau sejak Presiden Joko Widodo gencar menggeber proyek infrastruktur dengan dana utang, posisi ULN pada China melesat.
Sebagai perbandingan pada 2013-2014, posisi utang Indonesia pada Tiongkok baru di kisaran US$ 6,15 miliar-US$ 7,86 miliar. Angka itu meningkat dua kali lipat sejak 2015 dan berlanjut di kisaran US$ 20-an miliar sampai detik ini.
Kenaikan ULN Indonesia pada China terutama karena kenaikan utang swasta yang mencapai US$ 19,87 miliar per Juli lalu, sementara ULN pemerintah RI pada Tiongkok berada di posisi US$ 1,34 miliar.
Terus melesatnya utang RI pada China adalah satu rangkaian dengan langkah Indonesia banyak terlibat dalam proyek infrastruktur Belt and Road Initiative yang telah digagas oleh China sejak 2013 silam.
China di bawah Xi Jinping meluncurkan Belt and Road Initiative yang digadang-gadang menjadi Jalur Sutera Baru abad 21.
Sampai 2022, tercatat 147 negara telah menandatangani kesepakatan proyek kerjasama dengan Tiongkok di bawah payung Belt and Road Initiative. Jumlah itu setara dengan dua pertiga populasi dunia dan merepresentasikan 40% dari Produk Domestik Bruto dunia.
Belt and Road Initiative belakangan mulai ditinggalkan. Terakhir, Italia di bawah kepimpinan Perdana Menteri Giorgia Meloni menyatakan secara pribadi telah memberi isyarat kepada Perdana Menteri Tiongkok Li Qiang bahwa Italia berencana keluar dari perjanjian investasi yang telah menjadi ujian bagi hubungan negaranya dengan Amerika.
Dalam pertemuan di sela-sela KTT G20 di India beberapa waktu lalu, Meloni mengatakan kepada Li bahwa Italia berencana untuk menarik diri dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative) yang dicanangkan oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping sambil tetap berusaha menjaga hubungan persahabatan dengan Beijing, menurut seseorang yang akrab dengannya dan meminta untuk tidak disebutkan namanya, dilansir dari Bloomberg News. Italia secara resmi menandatangani pakta tersebut pada tahun 2019.
Pada konferensi pers setelah G-20, Meloni mengatakan dia telah berbicara dengan Perdana Menteri Tiongkok tentang Belt and Road Initiative (BRI), akan tetapi keputusan belum diambil.
“Belt and Road bukan satu-satunya elemen yang membangun hubungan bilateral kami dengan Tiongkok,” katanya, seraya menambahkan bahwa negara-negara Eropa lainnya telah mampu menegosiasikan hubungan yang lebih baik dengan Beijing tanpa ikut serta dalam inisiatif tersebut.
(rui)