Komentar tersebut muncul ketika industri minyak dan gas (migas) membalas kritik mereka dan berjuang untuk mengendalikan narasi seputar transformasi sistem energi global untuk membatasi dampak perubahan iklim.
Korporasi migas merupakan magnet alami bagi kritik dari para pendukung energi bersih, aktivis lingkungan hidup, dan politisi pro-hijau. Namun, setelah masa sulit di puncak pandemi, ketika permintaan dan keuntungan anjlok, industri ini bangkit kembali di tengah kenaikan harga minyak dan gas.
Mereka pun lantas mengambil pendekatan yang sama bahwa perubahan iklim adalah hal yang nyata dan emisi karbon harus dikurangi, tetapi korporasi minyak tetap berperan penting dalam memenuhi permintaan energi dunia, dan mereka dapat melakukan hal tersebut sembari merancang solusi untuk mengurangi polusi secara agresif.
Baik Woods maupun CEO Saudi Aramco Amin Nasser bersikap optimistis terhadap prospek permintaan minyak dan meremehkan perkiraan lain mengenai seberapa cepat dunia akan mengurangi konsumsi minyak mentah.
Nasser memperkirakan rekor permintaan minyak di rentang 103 juta hingga 104 juta barel per hari pada paruh kedua tahun ini, dan terus naik menembus 110 juta barel per hari pada 2030.
Hal ini memberikan tanggung jawab pada industri minyak untuk terus mengembangkan sumber produksi baru, dan mengembalikan level produksi seperti yang diinginkan oleh para pecinta lingkungan hidup.
Turunnya investasi eksplorasi dan produksi setelah penurunan permintaan energi yang disebabkan oleh pandemi pada 2020 salah satunya disebabkan oleh lonjakan harga minyak dan gas alam yang mengguncang dunia tahun lalu setelah invasi Rusia ke Ukraina.
“Kita perlu berinvestasi,” kata Nasser pada konferensi tersebut, yang diadakan bersamaan dengan Pekan Iklim di New York. “Jika tidak, dalam jangka menengah dan panjang, kita akan mengalami krisis lagi dan kita akan mengalami kemunduran dalam hal penggunaan lebih banyak batu bara dan produk-produk murah lainnya yang tersedia saat ini. Dan semua upaya dekarbonisasi ini akan sia-sia.”
Menteri Energi Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman mengatakan kerajaannya ingin mendukung transisi ini, tetapi para politisi harus jujur mengenai tantangan ke depan, dan risikonya jika peralihan ini tidak dikelola dengan baik.
Pangeran Abdulaziz menyatakan bahwa dia ingin sebuah sesi di Kongres Perminyakan Dunia berikutnya, yang dijadwalkan diadakan di Riyadh pada 2026, akan membahas bagaimana Arab Saudi berhasil melakukan transisi tanpa menciptakan “kekacauan” dalam perekonomiannya.
Senada dengan komentar tersebut, Omar Farouk Ibrahim, sekretaris jenderal Asosiasi Produsen Minyak Afrika, mengatakan perekonomian negara-negara yang ia wakili tidak boleh terancam oleh transisi ini.
“Mengingat situasi kita yang unik dalam hal pembangunan sosio-ekonomi dan fakta bahwa masalah perubahan iklim bukan disebabkan oleh kita, melainkan oleh negara-negara maju secara ekonomi yang menggunakan bahan bakar fosil, menyerukan kita untuk ikut serta dalam kereta cepat yang sama menuju net zero adalah tindakan yang tidak adil dan menghukum,” katanya pada konferensi pers.
Perdana Menteri Alberta Danielle Smith, yang provinsinya menjadi tuan rumah konferensi tersebut dan memiliki cadangan minyak mentah terbesar ketiga di dunia, mengatakan bahwa energi harus tetap terjangkau dan dapat diandalkan. Beliau juga memberikan ringkasan pandangan yang dianut oleh banyak peserta konferensi.
“Kita sedang melakukan transisi dari emisi, tetap kita tidak melakukan transisi dari minyak dan gas alam,” kata Smith.
(bbn)