"Penjaminan diberikan atas keseluruhan dari kewajiban finansial PT KAI terhadap kreditur berdasarkan perjanjian pinjaman, terdiri atas pokok pinjaman, bunga pinjaman dan biaya lain yang timbul sehubungan dengan perjanjian pinjaman," demikian ditulis dalam pasal 4 regulasi baru, dikutip Selasa (19/9/2023).
Awal April lalu, pemerintah meneken kesepakatan pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung sebesar US$1,2 miliar, setara Rp17,9 triliun. Alhasil, total biaya proyek tersebut mencapai US$ 7,27 miliar.
PT KCIC menambah utang hingga US$560 juta pada China Development Bank untuk menutupi pembengkakan biaya. Bahkan China sempat mendesak Indonesia menjadikan APBN sebagai jaminan dari pembengkakan biaya tersebut.
Nilai proyek itu saat pertama kali diiinisiasi pada 2015 sejatinya diperkirakan mencapai US$5,13 miliar. Akan tetapi, pembengkakan terus terjadi dan pemerintah gagal membujuk China untuk menurunkan bunga pinjamannya dari 3,4% menjadi 2%. Pembengkakan nilai proyek tersebut dinilai berpotensi bakal membebankan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Ekonom Senior Faisal Basri menilai China tidak akan menanggung rugi akibat pembengkakan biaya tersebut. Konsorsium Indonesia besar kemungkinan bakal kesulitan membayar utang tersebut sehingga ujung-ujungnya mengandalkan APBN.
"China tidak pernah rugi karena kita tiap tahun bayar bunga yang dari 75%. Pinjaman yang bunganya 20 kali lebih tinggi kalau dari Jepang. Inilah ongkos yang harus kita bayar," kata Faisal kepada Bloomberg Technoz, medio April lalu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya pernah mengatakan pemerintah ingin pembengkakan biaya pada proyek KCJB ditanggung bersama-sama oleh Indonesia dan China sesuai dengan porsi kepemilikan saham. Artinya, diselesaikan dengan skema business to business (B2B) seperti anggaran pembangunan. Namun belakangan China berkeras minta agar APBN menjadi penjamin untuk pinjaman proyek kereta cepat. Tuntutan Tiongkok itu akhirnya terpenuhi dengan keluarnya Permenkeu tersebut.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira dalam kesempatan sebelumnya mengingatkan ada risiko yang sangat berat apabila Indonesia tidak mampu melunasi utang proyek tersebut. Indonesia berisiko kehilangan hak pengelolaan kereta cepat dan diperkirakan akan jatuh ke tangan kreditur China. Bahkan pemasukan dari operasional kereta pun akan langsung menjadi pendapatan kreditur yaitu Tiongkok.
"Kasus overrun KCJB jangan sampai terjadi pada proyek lain akibat kurangnya perencanaan, transparansi, dan pengawasan. Ditambah lagi dengan masalah pembebasan lahan, salah perhitungan, dan kecelakaan kerja yang cukup tinggi. Jika tidak ada upaya perbaikan yang serius maka ambisi Jalur Sutra Baru China akan terus bermasalah alih-alih mendapatkan manfaat yang lebih besar," imbuh analis dan peneliti CELIOS Yeta Purnama dan Zulfikar Rakhmat.
(rui/ain)