“Saya ingat waktu itu setiap intervensi pemerintah waktu itu bukannya berujung pada lancarnya ketersediaan minyak goreng bahkan makin langka. Padahal regulasi banyak dilakukan,” terangnya.
Namun, berbeda dengan kasus minyak goreng, Ombudsman belum menemukan adanya indikasi penimbunan beras. Menurutnya, persoalan beras saat ini terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan gabah di lapangan.
“Nah solusinya apa? Artinya stok harus ditambah, cuma stoknya mau yang mana. Kalau keterbatasan gabah kita gabisa impor gabah. Gabah itu hanya bisa dilaksanakan kalau kita produksi. Artinya harus tanam dari sekarang, tapi itu jangka menengah, tanam sekarang baru 4-6 bulan lagi dihasilkan,” ujarnya.
Selain itu, terdapat beberapa hal yang diusulkan oleh Ombudsman untuk mengatasi permasalahan ini dalam jangka pendek, salah satunya mengganti kebijakan HET beras, khususnya untuk beras yang dipasok produsen beras besar ke ritel modern. Sebab, dengan harga gabah di petani yang semakin meningkat, penetapan HET justru akan membuat margin ritel modern semakin tipis.
"Karena mereka sudah mendapatkan harga gabah tinggi, kalau pakai HET Rp13.900 (per kilogram) pasti nanti pelaku usaha akan ada keberatan menyuplai beras ke pasar modern," tutupnya.
(dov)