Kedua, penyaluran bantuan sosial (bansos) pangan oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas) melalui Perum Bulog kepada 21,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM) periode September-November. Kebijakan ini dinilai masih berpotensi tidak sepenuhnya tepat sasaran.
Yeka berpendapat bahwa basis data yang digunakan tidak sepenuhnya akurat dan mutakhir. Mekanisme penyaluran juga perlu dipastikan agar memudahkan dan mendekatkan kepada KPM.
Terakhir, operasi pasar. Diketahui Bapanas melalui Perum BULOG melakukan operasi pasar melalui program stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) ke Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) —yang djuga dinilai tidak efektif.
Alasannya terdapat kenaikan harga di tingkat konsumen, dimana penyaluran beras SPHP ke PIBC senilai Rp10.835 per kilogram akan diterima oleh konsumen sekitar Rp10.900.
Bagi dia, beras SPHP sebaiknya diberikan langsung kepada konsumen agar tidak terjadi kenaikan harga antara yang ditetapkan dengan yang diterima konsumen.
“Harga perlu dipastikan wajar, baik di tingkat produsen, pedagang dan konsumen. Kita lihat SPHP masuk ke PIBC, berarti PIBC beli ke Bulog Rp10.385 per kg, lalu nanti PIBC, katakanlah pelaku pasar, [jual dengan harga] Rp10.900, berarti ada margin di situ,” kata dia.
“Pertanyaannya, kenapa harus melalui Cipinang kalau gitu? Kenapa tidak langsung ke masyarakat aja Rp10.385?,” ujarnya.
(dov/wep)