Selanjutnya, kata Bhima, pembangunan PLTU batu bara terbukti mengandalkan perbankan domestik, karena bank internasional sudah tidak mau lagi mendanai proyek-proyek energi fosil —khususnya batu bara.
Dia berpendapat pemerintah maupun pemilik PLTU seharusnya tidak mengorbankan reputasi bank domestik untuk ikut terlibat dalam proyek yang tinggi emisi.
"Seharusnya, Kementerian ESDM tidak mengizinkan pembangunan PLTU batu bara baru di kawasan industri. Celios memberikan rekomendasi agar kawasan industri membeli listrik dari PLN, dengan catatan PLN terus memperbesar bauran energi terbarukan. Kalau masalahnya ada di transmisi ke kawasan industri, itu bisa dikerjasamakan antara PLN dengan investor kawasan."
Celios memperkirakan pembangunan PLTU berkapasitas 1 GW besutan Adaro Group di KIHI dinilai berisiko membawa kerugian ekonomi sekitar Rp4 triliun per tahun. Klaim tersebut diutarakan melalui riset yang bertajuk Kawasan Industri Hijau Kalimantan Utara Tercemar PLTU Batubara: Dampak Ekonomi, Konflik Kepentingan, dan Ancaman Lingkungan Hidup, dipublikasikan medio pekan lalu.
Selain kerugian agregat secara langsung maupun tak langsung terhadap perekonomian, proyek PLTU batu bara di kawasan industri hijau yang berlokasi di Tanah Kuning-Mangkupadi di Kabupaten Bulungan, Kaltara itu akan menggerus pendapatan masyarakat dari sektor kemaritiman.
Hasil kalkulasi dengan metode IRIO menyebut adanya dampak negatif pembangunan PLTU batu bara bagi output perekonomian sebesar Rp3,93 triliun, pendapatan masyarakat secara agregat diproyeksi menurun Rp3,68 triliun, dan kerugian spesifik di sektor perikanan senilai Rp51,5 miliar.
Menanggapi riset tersebut, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan penyebab pemerintah mengizinkan pembangunan PLTU berkapasitas 1x1 gigawatt (GW) tersebut di kawasan industri hijau adalah sebagai langkah utama sebelum nantinya pembangkit berbasis energi fosil itu dialihkan menggunakan energi hijau.
"Itu kan bridging saja sebelum energi baru masuk. Kan kalau mau pakai energi baru perlu infrastruktur dahulu, yang paling cepat bridging [dengan PLTU]," ujarnya saat ditemui di sela PYC International Conference 2023, Jumat (15/9/2023).
Dihubungi secara terpisah, Head of Corporate Communication Adaro Energy Febrianti Nadira menjelaskan PLTU yang tengah menjadi sorotan tersebut justru akan dibangun dengan cepat sehingga perseroan tidak kehilangan peluang untuk berpartisipasi dalam program penghiliran dan pengembangan ekonomi hijau di Tanah Air.
Dia menjelaskan proyek utama Adaro di KIHI sebenarnya adalah smelter aluminium, yang diharapkan membantu negara mengurangi impor aluminium, meningkatkan devisa dan penerimaan pajak, sekaligus berkontribusi menciptakan lapangan pekerjaan.
“Untuk dapat segera mewujudkan hal tersebut, maka smelter aluminium Adaro akan dibangun dalam tiga fase, dengan target kapasitas mencapai 1,5 juta ton,” ujarnya kepada Bloomberg Technoz, Jumat (15/9/2023).
Masing-masing fase akan memiliki kapasitas 500.000 ton. Saat ini, perseroan sedang memfokuskan pembangunan pada fase pertama yang akan menggunakan PLTU sebagai sumber energi karena keandalan dan biaya pembangkit listrik yang lebih efisien.
“Untuk tahap kedua, Adaro berencana akan menggunakan bauran kombinasi PLTU dengan sumber energi lain yang lebih ramah lingkungan,” lanjut Ira.
Adapun, pada tahap ketiga, perusahaan akan lebih lanjut melakukan transisi energi dengan sepenuhnya menggunakan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sehingga akan menghasilkan produk aluminium yang ramah lingkungan.
(wdh)