Adidas sebagai partner resmi, pemasok, dan pemegang hak lisensi untuk semua acara FIFA hingga tahun 2030 — terlihat tidak ingin terlibat dari kegemparan yang disebabkan Luis Rubiales yang mencium bibir pemain sepak bola wanita Spanyol saat perayaan kemenangan tim pada 20 Agustus lalu, bahkan setelah bos sepak bola Spanyol itu dipecat.
“Jika anda mulai mengeluarkan pengaruh anda, itu tidak akan berjalan baik dengan badan pengatur atau asosiasi sepak bola lainnya yang berpotensi berdampak pada kesepakatan komersial di masa depan, “ kata salah satu pendiri agensi merek The Clearing yang berbasis di London, Richard Buchanan.
“Dibutuhkan keberanian yang nyata untuk berdiri dan berbicara untuk itu,’ tambahnya.
Tapi, raksasa olahraga asal Jerman ini tidak selalu diam. Mereka pernah mencabut sponsor untuk mantan pemain West Ham, Kurt Zouma, setelah video yang menunjukkan sang pemain melakukan kekerasan terhadap kucingnya. Perusahaan lain juga pernah mencabut sponsor terhadap atlenya atas berbagai alasan.
Seperti yang dilakukan Konami Group, mencabut kerja sama dengan Antoine Griezmann, setelah terlihat membuat komentar rasis anti-Asia selama kunjungan ke Jepang. Nike Inc. juga pernah mencabut sponsor dari mantan pemain Manchester United Plc, Mason Greenwood, setelah pemain tersebut ditangkap atas dugaan kekerasan dalam rumah tangga. (Puma SE, produsen olahraga Jerman lainnya, menolak memberikan komentar tentang kemitraannya dengan Antony, seorang pemain Manchester United yang sedang mengambil cuti sementara ia menghadapi tuduhan pelecehan seksual).
Meskipun mencabut sponsor untuk pemain individu jauh lebih mudah daripada seluruh tim, kehebohan seputar Rubiales adalah contoh lain dari pertanyaan sulit yang dihadapi perusahaan dan merek mereka; Kapan seharusnya sponsor — tanpa dukungan mereka banyak tim tidak akan dapat eksis — terlibat dalam kontroversi?
"Sponsor memiliki tanggung jawab saat berada di meja perundingan," kata Eni Aluko, seorang pembawa acara sepakbola yang bermain untuk tim wanita Inggris hingga tahun 2016.
"Mereka bisa mengatakan berapa banyak yang harus dialokasikan untuk kampanye perempuan dan pada gilirannya konsumen perempuan. Merek memegang banyak kekuatan. Mereka memiliki kendali atas banyak investasi dalam ekonomi sepakbola,” tambahnya.
Dari hasil survei, harapan bahwa perusahaan, dan sponsor terbesar khususnya, untuk mengambil sikap tegas terhadap masalah sosial menjadi lebih tajam sejak pandemi global, terutama dari generasi muda yang bersemangat mengecam ketidakadilan di mana pun mereka melihatnya. Pada saat yang sama, di dunia yang semakin terpecah, sering kali terjadi reaksi balik dan seruan boikot, seperti yang dialami oleh Adidas pada bulan Juni ketika perusahaan tersebut secara publik mendukung iklan pakaian renang Pride 2023 yang menampilkan model berpenampilan pria dalam pakaian renang tradisional perempuan.
Namun, perusahaan biasanya secara cermat memantau situasi untuk memahami bentuk opini publik sebelum bersuara.
"Sponsor akan mempertimbangkan nilai-nilai masyarakat, tetapi juga nilai-nilai yang mereka pertahankan sebagai perusahaan. Jika kontroversi tidak sejalan dengan salah satu dari hal-hal ini, sponsor akan terpaksa bersuara untuk melindungi merek mereka dan menjauhkan diri dari atlet," menurut Joe Murgatroyd, seorang mitra di konsultan PR olahraga berbasis di London, Brandnation.
Piala Dunia baru-baru ini diharapkan menjadi titik balik bagi sepakbola wanita. Acara tersebut memecahkan rekor dengan menjual hampir dua juta tiket stadion dan menjadi program yang paling banyak ditonton dalam sejarah TV Australia. Merek-merek juga menyatakan dukungan mereka untuk tim nasional dan pemain melalui kampanye pemasaran inovatif, seperti yang diluncurkan oleh perusahaan telekomunikasi Orange, yang menggunakan teknologi deepfake AI yang memukau penonton dengan momen sepakbola luar biasa dari tim nasional pria Prancis sebelum mengungkapkan bahwa mereka dimainkan oleh wanita.
Namun, menurut penelitian yang diberikan kepada Bloomberg oleh firma analisis Omdia, pendapatan sponsor masih tertinggal dibandingkan turnamen pria, dengan perkiraan sekitar US$300 juta (Rp4,6 triliun), dibandingkan dengan US$1,7 miliar (Rp26 triliun) yang dihasilkan untuk turnamen di Qatar.
Menilai dengan akurat pendapatan yang dihasilkan oleh tim wanita juga tidak mudah. Beberapa sponsorship dilakukan dalam "paket," yang berarti kesepakatan tersebut dibuat dengan klub secara keseluruhan daripada dengan tim-tim khusus, sehingga sulit untuk mengalokasikan pendapatan ke sisi wanita, menurut Jennifer Haskel, yang membantu menyusun laporan Deloitte.
(bbn)