Undang-undang itu memberi wewenang yang lebih besar kepada pemerintah China untuk mengawasi dan mengendalikan aktivitas politik dan sosial di Hong Kong. Hal ini memicu kekhawatiran akan hilangnya otonomi dan hak-hak sipil yang dijamin di bawah prinsip "satu negara, dua sistem" yang telah berlaku sejak Hong Kong kembali ke kedaulatan China pada tahun 1997.
Pada saat itu banyak warga Hong Kong merasa bahwa pemerintah China semakin mengurangi kebebasan politik dan demokrasi di Hong Kong. Warga Hong Kong juga mengangkat isu hak asasi manusia, termasuk tindakan keras yang diambil oleh aparat kepolisian selama protes-protes sebelumnya dan penahanan aktivis pro-demokrasi.
Protes-protes tersebut melibatkan jutaan orang yang memadati jalan-jalan Hong Kong, memprotes undang-undang keamanan nasional dan menyerukan pemeliharaan otonomi dan kebebasan di Hong Kong. Protes ini menjadi salah satu peristiwa penting dalam sejarah Hong Kong dan menarik perhatian internasional terhadap situasi di sana.
Meski sudah cukup lama berlalu sejak kejadian itu, otoritas di Hong Kong dan China telah menegaskan bahwa keamanan nasional masih menjadi prioritas utama di pusat Asia ini.
Pada Juli, pejabat-pejabat menawarkan hadiah sebesar HK$1 juta (Rp1,9 miliar) untuk delapan aktivis luar negeri, dengan tuduhan mereka melakukan pelanggaran berdasarkan hukum keamanan nasional bahkan setelah meninggalkan Hong Kong.
Departemen Luar Negeri AS mengecam langkah tersebut dan mengatakan bahwa tindakan itu "merupakan preseden berbahaya" yang mengancam hak dan kebebasan individu.
Lebih dari 270 orang telah ditangkap oleh kepolisian, sementara puluhan termasuk aktivis pro-demokrasi dan mantan anggota parlemen oposisi telah menghadapi tuduhan berdasarkan hukum tersebut yang dapat dikenakan hukuman penjara seumur hidup.
(bbn)