Aksi carry trade akan terus menjadi favorit menilik pamor obligasi rupiah akan menjadi buruan. “Korelasinya dengan dolar AS lebih kecil daripada mata uang sejenis seperti dolar Singapura atau baht Thailand,” jelas Galvin Chia, ahli strategi Natwest Market di Singapura.
Investor asing telah kembali ke pasar obligasi Indonesia pada akhir tahun lalu setelah menghindari pasar domestik selama 2022. Januari lalu, investor asing mencetak rekor pembelian obligasi global terbitan pemerintah senilai US$ 3,3 miliar, kendati sejauh ini kepemilikan asing baru 15% dari total penerbitan. Persentase itu masih jauh di bawah tingkat kepemilikan asing sebelum pandemi.
Obligasi terbitan pemerintah Indonesia bertenor 10 tahun sejauh ini menjadi salah satu surat utang dengan imbal hasil tertinggi di kawasan Asia dan menjadikannya favorit di mata investor asing. Tingkat yield obligasi 10 tahun sekitar 1,3% di tengah penurunan tingkat inflasi. Inflasi tahun ini diperkirakan akan kembali ke target di kisaran 2%-4% dan BI juga mengisyaratkan berakhirnya pengetatan moneter.
Pemerintah telah merilis 3 seri global bond pada Januari lalu dan semuanya diserbu oleh investor. Tiga global bond itu antara lain, RI0128A bertenor 5 tahun senilai US$ 1 miliar dengan kupon 4,55%. Lalu, RI0133 bertenor 10 tahun, diterbitkan sebesar US$ 1,25 miliar, menawarkan kupon 4,85%. Kemudian, RI0153 dengan tenor 30 tahun menyerap US$ 750 juta dengan tawaran kupon 5,56%.
Indonesia juga mencatat surplus neraca perdagangan tertinggi di Asia terbantu kinerja ekspor komoditas yang melonjak termasuk minyak sawit mentah (CPO) dan nikel. Kendati berkah durian runtuh alias windfall komoditas akan menurun tahun ini, pemerintah memperkirakan surplus neraca perdagangan masih bisa tercapai di kisaran US$ 38,5 miliar, lebih tinggi daripada 2021. Angka itu tentu akan memperkuat otot rupiah.
Rupiah telah kembali menguat disusul langkah investor asing yang kembali memasuki pasar obligasi untuk mengurangi kerugian mereka selama dua tahun terakhir. Alan Lau, strategist di Maybank, menambahkan, pelemahan dolar dan aliran masuk dana asing ke pasar obligasi akan memperpanjang reli penguatan rupiah.
Dalam kesempatan terpisah melalui rilis. yang diterima oleh Bloomberg Technoz, Chief Economist PT Bank Mandiri Tbk Faisal Rachman, menilai, otot rupiah berpeluang untuk tetap kuat di tengah ketidakpastian global. Beberapa faktor yang mendukung keperkasaan rupiah tahun ini di antaranya adalah terjaganya cadangan devisa di kisaran US$ 135 miliar hingga US$ 145 miliar sejurus dengan kinerja neraca perdagangan kendati harga komoditi mulai melemah.
Pembukaan lagi ekonomi China dan situasi Eropa yang lebih baik dari yang diperkirakan memberi angin segar pada kinerja ekspor. Begitu juga komitmen pemerintah mendorong hilirisasi komoditi dan kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) bisa menjadi variabel penguat rupiah. Faisal memprediksi, nilai tukar rupiah menghadapi dolar AS akan berkisar Rp 15,285 pada akhir 2023, dengan pergerakan rata-rata di level Rp 15.220. Sedikit melemah dibandingkan rata-rata pergerakan pada 2022 yaitu di angka Rp 14.874 per dolar AS.
(bbn)