Logo Bloomberg Technoz

Negara-negara berkembang disebut bisa memasok negara maju dengan energi bersih yang mana akan menaikkan posisi tawar negara berkembang dalam hal perdagangan, disampaikan Silveira. Oleh karena itu dia berharap Brasil bisa mendapatkan investasi hingga US$400 miliar dalam satu dekade ke depan. Hal itu akan menyangkut produksi biofuel termasuk bahan bakar ramah lingkungan bagi penerbangan hingga diesel hijau. Menurutnya, produksi biofuel di Brasil akan membebaskan negara itu dari "cengkeraman kartel OPEC".

Brasil merasa berhak menuntut hal ini dari negara-negara maju yang masih akan terus bergantung pada ekonomi Amerika Latin yang cukup besar dalam hal biofuel dan energi hijau. 

"Sudah jelas bahwa hidrogen hijau, hasil dekarbonasi energi di negara maju berasal dari negara-negara Global South. Brasil karena itu punya agenda ini."

Silveira karena itu menginginkan agar untuk dalam negeri, perusahaan raksasa Petroleo Brasileiro SA dan Vale SA memulainya dalam hal penggunaan hidrogen hijau. Dengan demikian transisi energi akan terjadi.

Namun demikian pada saat pemerintahan Brasil mendorong agenda global perubahan iklim, mereka juga sedang mencari penambahan produksi minyak di dalam negeri. Seaara bersamaan, berbagai perjanjian yang dilakukan perusahaan minyak nasional Petrobras akan meningkatkan produksi minyak fosil dalam beberapa dekade lagi. Negara tersebut tetap mengambil minyak dan diprediksi jumlahnya terus naik hingga 2030.

Petrobas sendiri juga diketahui sedang berusaha membuka ladang-ladang minyak baru di Brasil seperti Equatorial Margin, wilayah yang secara ekologis dianggap merupakan offshores yang sensitif di bagian utara di negeri itu. Wilayah baru ini juga menyebabkan protes dari para aktivis lingkungan dan menyebabkan ketegangan di kubu aliansi Lula da Silva.

Namun Silveira membantah sikap Brasil yang kontrdiktif dan menyatakan bahwa Brasil saat ini hanya memerlukan biaya untuk melakukan transisi energi. Brasil kata dia sangat paham bahwa transisi energi butuh eksposur dan pembiayaan. 

Soal pembiayaan transisi energi ini juga belum lama disampaikan Presiden Jokowi dalam pertemuan G-20 tahun 2023. Jokowi pada saat itu menyentil bahwa komitmen pendanaan negara maju masih sekadar pernyataan tanpa aksi nyata. Padahal kondisi ini mendesak untuk diatasi. Jokowi mengungkapkan bahwa saat ini negara-negara berkembang membutuhkan bantuan dalam bidang teknologi dan investasi hijau untuk mempercepat penurunan emisi di dunia.

“Komitmen pendanaan negara maju masih sebatas retorika dan di atas kertas, baik itu pendanaan climate US$ 100 miliar per tahun, maupun fasilitas pendanaan loss dan damage,” kata Jokowi.

--dengan asistensi Andrew Rosati.

(bbn)

No more pages