"Saya tahu, dalamnya partai seperti apa saya tahu. Partai-partai seperti apa, mereka ingin menuju ke mana saya juga tahu," kata Presiden.
Jokowi kemudian mengatakan bahwa informasi itu dia dapatkan lewat Badan Intelijen Negara (BIN) hingga intelijen TNI dan Polri. "Dan informasi-informasi di luar itu. Angka, data, survei, semuanya ada. Saya pegang semua, dan itu hanya miliknya Presiden," ucap mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Terkait dengan informasi parpol tersebut, Beni melanjutkan bahwa intelijen sendiri dalam tataran ideal negara demokrasi, bekerja dengan batasan. Oleh karena itu ada UU dan aturan yang menjadi koridornya agar tak kebablasan.
Sejumlah hal yang menjadi batasan intelijen dalam mencari informasi yaitu pertama, tidak boleh melanggar HAM individu maupun kelompok dalam menjalankan tugasnya. Kedua, tidak boleh ikut campur tangan politik.
"Intelijen tidak boleh terlibat dalam aktivitas politik atau mengambil sikap politik yang dapat mempengaruhi hasil pemilihan atau kebijakan politik," ucap Beni.
Ketiga, penggunaan informasi untuk keuntungan pribadi. Artinya informasi yang didapatkan intelijen harus untuk kepentingan nasional dan keamanan bersama bukan untuk pribadi atau kalangan tertentu. Keempat, tidak boleh asal menyadap tanpa izin yang sah atau tanpa pengawasan. Kelima, tidak boleh melakukan diskriminasi atau profiling berdasarkan etnis, agama dan kepercayaan.
"Dalam menjalankan tugasnya, lembaga intelijen harus mematuhi batasan-batasan etika dan hukum serta menjaga keseimbangan antara keamanan nasional dan hak-hak individu serta stabilitas politik dalam negeri," tambahnya.
Berbeda dengan pengamat tersebut, Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI periode 2011-2013 Soleman Ponto menilai, tak ada yang salah dengan pernyataan Jokowi. Menurut dia, Presiden memang harus menerima semua informasi. Namun kalau kemudian untuk apa informasi itu digunakan adalah hal yang rahasia.
"Sah-sah saja (presiden) memiliki semua (data). Siapapun punya rahasia. Eggak ada, siapa yang bisa ngelarang? Sudah benar (Jokowi) enggak ada salahnya kok," kata Soleman Ponto saat dihubungi lewat sambungan telepon.
Oleh karena itu kata dia, pernyataan Presiden Jokowi seharusnya tak perlu diprotes. Mantan praktisi intelijen ini menilai kepala negara sah saja mendapatkan segala informasi.
"Dia punya (BAIS), dia punya BIN, dia punya siapa saja. Kalau dia tahu ya dia enggak salah. Kalau dia bilang dia enggak tahu ya baru itu keliru," imbuhnya.
Sementara Menko Polhukam Mahfud MD juga menguatkan pernyataan Presiden Jokowi di acara relawan itu. Bahkan, Mahfud mendetailkan informasi intelijen yang didapatkan Presiden Jokowi. Kata dia, hal tersebut adalah hak presiden. Tak hanya data parpol, data para politikus juga masuk ke telinga Jokowi.
"Ini Presiden pasti punya intelijen, siapa politikus yang nakal, siapa politikus yang benar. Siapa yang punya kerja gelap, siapa yang punya kerja terang itu punya Presiden," ujar Mahfud MD.
Sebagai kepala negara, Mahfud mengatakan, presiden memang harus mendapatkan seluruh informasi sensitif untuk menjaga stabilitas negara. Akan tetapi, dia menampik bahwa informasi intelijen kerap digunakan Jokowi untuk cawe-cawe terhadap partai politik dan pemilu.
Penyalahgunaan Kekuasaan
Namun langkah intelijen mengintai parpol di negara demokrasi mendapat perlawanan dari koaliasi masyarakat sipil. Hal ini dianggap penyalahgunaan intelijen oleh presiden dan bentuk skandal yang perlu diusut. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, hal tersebut adalah persoalan serius.
"Pernyataan Jokowi memperlihatkan adanya penyalahgunaan kekuasaan presiden untuk mengintervensi kehidupan sosial politik dalam negeri khususnya mengintai kegiatan partai politik demi kepentingan partisan. Padahal intelijen hanya dapat digunakan untuk urusan kepentingan negara," kata Usman Hamid pada Minggu malam (17/9/2023).
Dia menambahkan, intelijen memang merupakan aktor keamanan yang berfungsi memberikan informasi terutama kepada Presiden. Namun, informasi itu seharusnya terkait dengan musuh negara dan masalah keamanan nasional. Jadi bukan terkait dengan masyarakat politik atau partai politik dan masayarakat sipil. Partai politik seharusnya bukan target.
Hal itu diterakan dalam Pasal 1 angka 1 dan 2 UU tentang Intelijen Negara yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
1. Intelijen adalah pengetahuan, organisasi, dan kegiatan yang terkait dengan perumusan kebijakan, strategi nasional, dan pengambilan keputusan berdasarkan analisis dari informasi dan fakta yang terkumpul melalui metode kerja untuk pendeteksian dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan nasional.
2. Intelijen negara adalah penyelenggara Intelijen yang merupakan bagian integral dari sistem keamanan nasional yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan fungsi dan kegiatan intelijen negara.
"Partai politik dan masyarakat sipil adalah elemen penting dalam demokrasi sehingga tidak pantas dan tidak boleh Presiden memantau, menyadap, mengawasi kepada mereka dengan menggunakan lembaga intelijen demi kepentingan politik presiden," lanjut mantan Ketua Badan Pekerja KontraS ini.
Usman juga mengatakan tak yakin bahwa Jokowi tak memahami koridor intelijen dalam negara demokrasi. Apalagi Jokowi sudah hampir 10 tahun menjabat menjadi presiden. Dia mengatakan, informasi intelijen seharusnya berujung pada aksi atau kebijakan demi kepentingan negara. Sikap Jokowi itu lantas dianggapnya sudah terlalu vulgar. Dia mendorong Komisi I DPR menagih jawab atas hal ini kepada pemerintah.
"Jika partai-partai politik di DPR tidak melakukan apa pun, maka itu menimbulkan pertanyaan publik, ada apa dengan DPR? Mengapa tidak terlihat mau mengambil sikap kritis melalui fungsi kontrol politik," ujarnya.
(ezr)