Berdasarkan perjanjian tersebut, China akan membangun PLTN ketiga di Turki. Yang pertama sedang dibangun oleh Rusia di pantai Mediterania, sementara yang kedua berada di pantai Laut Hitam dan masih dalam tahap perencanaan.
Bayraktar mengatakan Rosatom Rusia serta perusahaan Korea Selatan sama-sama tertarik untuk membangun pabrik kedua. Sementara Turki mencari lebih banyak partisipasi lokal.
Negara dengan perekonomian non-migas terbesar di Timur Tengah ini menganggap nuklir sebagai pilar utama dalam upaya menurunkan biaya impor energi, yang mencapai kurang dari US$80 miliar tahun lalu. Bagi Beijing, hal ini akan menandai kemenangan komersial. Karena industri nuklir China gagal menemukan banyak pembeli internasional untuk reaktor Hualong-1 miliknya.
Sementara itu, Beijing sedang bernegosiasi dengan berbagai negara mulai dari Argentina hingga Arab Saudi untuk meningkatkan penjualan. Akan tetapi, Pakistan saat ini adalah satu-satunya negara asing yang mengoperasikan reaktor tersebut.
Bayraktar mengatakan tujuan akhir Turki adalah meningkatkan kapasitas output listrik dari tenaga nuklir hingga 20 gigawatt, hampir empat kali lipat dari apa yang dapat dihasilkan oleh pembangkit listrik Akkuyu ketika sepenuhnya beroperasi dalam beberapa tahun mendatang. Menteri mengatakan untuk mencapai target tersebut, Turki kemungkinan akan membutuhkan kapasitas tambahan sebesar 5GW dari reaktor modular kecil, yang dikenal sebagai SMR.
"Kami ingin menciptakan ekosistem nuklir yang lebih luas di Turki," kata Bayraktar. "Kami membutuhkan tenaga nuklir untuk transisi energi yang sukses menuju tahun 2050," di waktu yang sama dengan harapan Turki agar perekonomian senilai US$1 triliun mereka mencapai netral karbon.
(bbn)