Permasalahannya, di tengah produksi yang bagus, perusahaan mengalami penyempitan kanal penjualan akibat izin ekspor yang sempat tertunda medio tahun ini.
“Kami produksi segitu, tetapi penjualannya enggak sebanyak itu. Penjualan untuk tembaga hanya sekitar 580 juta pounds, sedangkan emas 750.000 ounces. Itu karena izin ekspornya terhambat sekitar 44 hari. Jadi kami produksi, tetapi enggak bisa jual,” terangnya.
Tahun ini, Freeport diberikan izin ekspor konsentrat tembaga sebanyak 1,7 juta ton.
Menurut Tony —selain akibat isu keterlambatan izin ekspor medio tahun ini— realisasi ekspor dari izin yang diberikan kepada Freeport pada 2023 tidak akan maksimal lantaran sampai dengan akhir tahun, produksi konsentrat PTFI ditaksir menembus 1,6 miliar pounds.
“Itu sampai semester I-2023 sudah 735 juta pounds, totalnya sampai akhir tahun kira-kira 1,6 miliar pounds [konsentrat tembaga] dan untuk emas 1,9 juta ounces. Namun, untuk karena keterlambatan izin ekspor itu tadi, dampaknya jadi ke full year. Di mana [ekspor] full year kami kira-kira 100 juta pounds lebih rendah [dari produksi],” jelas Tony.
Kelebihan produksi yang berbanding terbalik dengan hambatan ekspor akibat keterlambatan izin selama sebulan lebih itu berakibat pada melubernya stok konsentrat tembaga Freeport di luar gudang-gudang Mimika, Papua Tengah.
“Kan daya tampungnya enggak banyak. Hanya sekitar 150.000 ton gudang kami. Jadi begitu gudangnya penuh, ini [produksi] sampai kami taruh di kapal-kapal, sudah meluber sekali,” ujarnya.
Pun demikian, dia memastikan, kasus keterlambatan izin ekspor yang sempat disorot publik beberapa waktu lalu tidak akan mengganggu kinerja produksi Freeport Indonesia sampai dengan akhir tahun ini.
“Sulit bagi kami untuk menghentikan produksi di hulu. Kalau kalau dia berhenti, ini akan sulit, akan menjadi asimetris, sehingga dari segi faktor safety-nya akan membahayakan,” tegas Tony.
(wdh)