Proyek tersebut adalah sebagai wujud komitmen PTFI untuk mematuhi persyaratan yang terdapat dalam IUPK, yang mengharuskan perusahaan untuk membangun pabrik pengolahan guna mendapatkan perpanjangan izin tambang hingga 2041.
Proyek ini juga sempat menjadi musabab 'seteru' pemerintah dengan PTFI soal penetapan bea keluar dan keterlambatan pembangunan smelter yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 71/2023 tentang Perubahan Ketiga Atas PMK No. 39/2022 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
Pada 2018, PTFI setuju untuk memperluas kapasitas smelter guna memproses semua konsentrat tembaganya di Indonesia. Namun, hingga saat ini proyek fasilitas pemurnian tersebut tercatat tidak kunjung mendekati rampung lantaran sempat terhambat pandemi Covid-19.
Hal itu membuat pemerintah kembali mengeluarkan peraturan yang mensyaratkan PTFI harus membayar bea keluar sebsar 7,5% jika proyek smelter Gresik itu tidak mencapai 70%—90% hingga akhir tahun ini.
Sebagaimana dikutip dalam Catatan 12 Formulir 10-K FCX 2022 laporan Freeport-McMorran, pada Maret 2022, PTFI membayar denda administrasi kepada Pemerintah Indonesia sebesar US$57 juta (termasuk biaya sebesar US$41 juta yang dicatat pada kuartal I-2022) terkait dengan keterlambatan itu.
Pada Mei 2023, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan keputusan yang menetapkan formula revisi denda administrasi untuk keterlambatan pembangunan smelter, dengan mempertimbangkan tunjangan untuk penundaan akibat pandemi sebagaimana diverifikasi oleh pihak ketiga.
Sampai dengan semester I-2023, menurut laporan kuartalan induk PTFI, Freeport-McMorran Inc., belanja modal atau capital expenditure (capex) PTFI untuk proyek smelter di Indonesia telah mencapai USS$0,8 miliar (sekitar Rp12,14 triliun).
Perusahaan berkode saham FCX di New York Stock Exchange (NYSE) itu mengeklaim kapasitas mengolah mengolah sekitar 1,7 juta ton konsentrat tembaga per tahun telah mencapai progres konstruksi sebesar 75% saat ini.
Adapun, pembangunan smelter Manyar diperkirakan menelan biaya US$3 miliar, termasuk US$2,8 miliar untuk kontrak konstruksi (tidak termasuk kapitasi bunga, biaya pemilik, dan commissioning), serta US$0,2 miliar untuk investasi di pabrik desalinisasi.
(ibn/wdh)