“Terkait dengan ketahanan fiskal, di sini harus dilihat dari beberapa aspek. Pertama, jelas harga minyak mentah. Kami memperkirakan setiap kenaikan US$1/barel minyak mentah akan mendorong harga ekonomi Pertalite dan Solar sekitar Rp200/liter,” tuturnya.
Dengan demikian, kata Andry, saat harga minyak dunia menembus di atas US$90/barel, tiap kenaikan US$1/barel akan berpotensi meningkatkan beban anggaran sejumlah Rp0,5 triliun/bulan untuk Pertalite, dan Rp0,3 triliun/bulan untuk Solar.
Kedua, kurs. Ketiga, permintaan BBM. Pertamina memperkirakan kuota Pertalite tidak akan habis pada 2023, atau hanya sekitar 30,8 juta kiloliter dari kuota tahun ini sebanyak 32,56 juta kiloliter.
“Selain itu, harga minyak kemarin kan sempat bertahan lama dibawah US$90/barel, sehingga semestinya masih ada ruang fiskal untuk menahan peningkatan harga minyak sekarang. Jadi, kesimpulannya ketahanan fiskal masih dapat dijaga bahkan hingga tahun depan,” tutur Andry.
Risiko Kenaikan BBM Subsidi
Ihwal risiko kenaikan harga BBM bersubsidi akibat tren penguatan harga minyak dunia belakangan ini, Andry menyebut hal tersebut masih belum akan terjadi hingga akhir tahun ini.
“Kami memperkirakan harga minyak bertahan di rentang US$85—US$90 per barel hingga akhir tahun ini karena suplai yang ketat, dan harga rata-rata untuk 2023 di level US$86,1/barel,” ujarnya.
Setala, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto juga berpendapat ketahanan anggaran negara untuk menjaga harga BBM di tengah penguatan harga crude masih cukup fleksibel.
“Posisi APBN masih surplus pada semester I-2023, walaupun diikuti dengan belanja transfer daerah yang lambat. Perkiraan saya, kenaikan harga minyak tahun ini tidak akan setinggi waktu meletusnya invasi Rusia ke Ukraina tahun lalu,” katanya saat dihubungi, Kamis (14/9/2023).
Eko memperkirakan harga minyak dunia sampai akhir tahun ini maksimal akan menyentuh US$95/barel, terutama pada Desember, atau saat musim dingin mulai terjadi di Eropa.
Akan tetapi, Eko mengalkulasikan kenaikan harga minyak US$5/barel di atas asumsi makro masih dalam batas aman, lantaran sepanjang paruh pertama tahun ini, harga minyak dunia masih berada di bawah ambang asumsi makro.
“Sepertinya, November akan mulai ada kenaikan. Meskipun secara keseluruhan kenaikan di level moderat karena pertumbuhan ekonomi global 2023 diperkirakan melambat, otomatis permintaan energi juga akan turun dibanding tahun lalu,” ujarnya.
Sekadar catatan, harga minyak dunia kembali mendekati level tertinggi tahun ini menyusul proyeksi International Energy Agency (IEA) bahwa pasar akan mengalami defisit pasokan yang signifikan di paruh kedua tahun ini.
IEA memperkirakan permintaan akan melampaui pasokan sebesar 1,2 juta barel/hari rata-rata selama paruh kedua tahun ini. Proyeksi ini menyusul perkiraan dari Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) bahwa kuartal keempat mungkin akan mengalami defisit terbesar dalam lebih dari satu dekade.
Per hari ini, WTI untuk pengiriman Oktober turun 32 sen menjadi US$88,52/barel di New York. Adapun, Brent untuk pengiriman November turun 18 sen menjadi US$91,88/barel.
Nilai-nilai tersebut sudah mendekati, atau bahkan melampaui target harga minyak Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) di level US$90 per barel yang dipatok dalam asumsi makro tahun ini.
Bagaimanapun, PT Pertamina (Persero) memastikan harga BBM di Indonesia akan tetap kompetitif, meski dibayangi oleh risiko kenaikan harga minyak dunia pada akhir tahun ini di tengah potensi ledakan permintaan solar dari negara-negara Eropa.
VP Corporate Pertamina Fadjar Joko Santoso mengatakan, khusus untuk harga BBM bersubsidi, pengaruh kenaikan harga minyak dunia tetap menjadi kebijaksanaan pemerintah. Sementara itu, BBM nonsubsidi bakal tetap mengikuti harga pasar.
"Untuk [proyeksi] harga BBM nonsubsidi hingga akhir tahun, tentu kita menyesuaikan harga market sebagaimana yang sudah kita terapkan saat ini, harga berubah setiap bulannya. Namun, tentu harga BBM Pertamina tetap kompetitif di kelasnya," ujarnya saat dihubungi, Selasa (5/9/2023).
(wdh)