“Selain itu terdapat risiko kehilangan pekerjaan sebanyak 66.000 orang di berbagai sektor. Jika PLTU batu bara beroperasi dalam jangka panjang, akumulasi kerugian dari kehilangan pendapatan masyarakat menembus Rp13 triliun,” tudingnya.
Sekadar catatan, PLTU batu bara di KIHI Kaltara tersebut dirancang seluas 30.000 hektare (ha) dan diklaim sebagai yang terbesar di dunia.
Dari tiga pengelola KIHI, baru PT Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI) yang sudah memasuki tahap konstruksi, sedangkan PT Indonesia Strategis Industri (ISI) dan PT Kayan Patria Propertindo (KPP) masih mengurus pembebasan lahan dan 32 isu administrasi lainnya.
KIPI sendiri merupakan anak usaha PT Adaro Energy Minerals Tbk. (ADMR), di mana Garibaldi ‘Boy’ Thohir menjadi presiden direkturnya.
Di kawasan industri hijau tersebut, ADMR melalui anak usahanya yang lain —yakni PT Kalimantan Aluminium Industry— merancang smelter aluminium seluas 580 ha.
Di sisi lain, anak usaha AMR yang lain lagi —PT Kaltara Power Indonesia— juga bersiap membangun PLTU, sebagaimana disampaikan dalam pengumuman besaran 33 belanja modal atau capital expenditure (capex) pada 2023.
“Perusahaan yang berada di balik investasi PLTU batu bara, termasuk calon pembeli aluminium khususnya raksasa otomotif Hyundai, perlu segera mempertimbangkan untuk menghentikan segala bentuk kontrak atau kesepakatan pembelian selama PLTU batu bara tetap dibangun. Dikhawatirkan, kendaraan listrik yang bahan bakunya berasal dari proses yang masih gunakan batu bara, tetapi diberi label ‘hijau’, menimbulkan persepsi yang salah di mata konsumen dan investor mitra Hyundai,” kata Bhima.
Pihak Adaro belum memberikan konfirmasi mengenai persoalan ini. Permintaan konfirmasi belum direspons.
Geser Pakai PLN
Lebih lanjut, dia menambahkan agar tiap rancangan pengembangan kawasan industri hijau tidak menggunakan PLTU berbasis batu bara baru dan fokus untuk menyediakan pasok listrik dari energi terbarukan.
“Solusi pasok listrik stabil disediakan oleh PLN, dengan catatan PLN juga memperbesar bauran energi terbarukan. Selain itu, taksonomi hijau OJK 2.0 sebaiknya tidak memberi ruang bagi PLTU batu bara bagi penghiliran, sehingga perbankan lebih fokus membiayai pembangkit EBT di kawasan industri,” terang Bhima.
Belum lama ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan kembali menegaskan rencana penertiban pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara yang dikelola swasta untuk kebutuhan industri, sebagai salah satu upaya pengurangan polusi yang menyelimuti Jakarta belakangan ini.
"Jadi PLTU [swasta] itu [kapasitasnya] ada yang 5 MW, [megawatt] ada yang 10 MW. Itu kan mereka butuh, tetapi juga tidak pakai teknologi yang bagus sehingga banyak [emisinya]. Itu kita sudah notified supaya pasang scrubber, supaya dia [menggunakan] supercritical tech. Pilihan kedua, 'Kau setop, nanti kau beli dari PLN’," ujarnya di sela acara Bloomberg CEO Forum, Rabu (6/9/2023).
Luhut mengatakan upaya ‘memindahkan’ penggunaan PLTU industri ke PLTU milik PLN itu perlu dilakukan lantaran saat ini perusahaan listrik pelat merah juga mempunyai kelebihan kapasitas atau excess capacity kelistrikan hingga 4 gigawatt (GW).
Lebih lanjut, dia mengungkapkan pemerintah juga bakal menyiapkan insentif bagi industri yang bersedia pasokan listriknya dialihkan ke PLTU milik PLN. Saat ini, pemerintah juga tengah mengidentifikasi industri yang menggunakan listrik berbasis batu bara sendiri.
Dari insentif itu, kata Luhut, nantinya industri kemungkinan bisa mendapatkan harga lebih murah dengan menggunakan listrik PLN. Sebab, nantinya program ini menjadi bagian penugasan atau public service obligation (PSO) perusahaan listrik negara.
Bagaimanapun, Luhut menyebut pemerintah tetap menyerahkan kepada PLN untuk menghitung dan menentukan tarif listrik untuk industri, sekaligus membahas bersama skema harga yang memungkinkan dan tepat.
"Kita minta PLN sekarang [menghitung besarannya] bisa sampai berapa harganya, supaya jangan dia rugi juga."
Direktur Utama PT Indonesia Power Edwin Nugraha Putra, pada kesempatan lain awal bulan ini, mengatakan PLN Group telah menjalankan dan menjaga emisi PLTU yang dikelolanya sesuai dengan regulasi yang dimandatkan pemerintah.
“Kami telah menetapkan standar pemasangan ESP pada tiap PLTU sehingga emisi yang dikeluarkan selalu aman dan berada di bawah ambang batas, sesuai dengan Permen LHK No. 15/2019. Ambang batas partikulat adalah 100 mg/m3, sedangkan hasil pengukuran partikulat di Suralaya di bawah 60 mg/m3,” tegas Edwin.
(wdh/dba)