“Ekspor CPO adalah penyumbang utama pasokan valas di pasar, dengan nilai US$ 2,7 miliar per bulan. Dengan kondisi ini, sepertinya Bank Indonesia (BI) harus lebih banyak melakukan intervensi untuk stabilisasi nilai tukar rupiah,” sebut Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, dalam risetnya.
Peran CPO terhadap ekspor Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Sepanjang Januari-Juli, nilai ekspor lemak dan minyak hewan/nabati (yang didominasi CPO) mencapai US$ 16,17 miliar.
Angka itu setara dengan 11,51% dari total ekspor non-migas. Komoditas ini menempati urutan kedua setelah bahan bakar mineral (yang didominasi batu bara) dengan kontribusi 19,33%.
Bicara batu bara, harga si batu hitam pun cenderung turun. Rerata harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) tercatat US$ 146,58/ton sepanjang Agustus. Pada periode yang sama tahun lalu, rata-ratanya mencapai US$ 404,92/ton, jadi ada penurunan 63,8%.
Impor Anjlok
Sementara konsensus pasar untuk proyeksi pertumbuhan impor Agustus menghasilkan angka median -9% yoy. Memburuk dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh -8.32% yoy.
Penurunan impor sepertinya tidak lepas dari kelesuan sektor manufaktur Tanah Air. Maklum, sebagian besar impor adalah bahan baku/penolong dan barang modal untuk keperluan produksi industri dalam negeri.
Kementerian Perindustrian mencatat Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada Agustus sebesar 52,22. Memang masih di atas 50, masih ekspansif, tetapi turun 0,09 poin dibandingkan bulan sebelumnya.
“Kondisi industri pengolahan Indonesia tetap solid. Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Agustus 2023 mencapai 53,22 tetap ekspansi meskipun melambat 0,09 poin dibandingkan Juli 2023,” kata Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif dalam keterangan tertulis.
Menurut Febri, perlambatan nilai IKI perlu terus dipantau agar tidak berkelanjutan. Pada Agustus ini, pelaku usaha yang menyatakan kondisi usahanya mengalami penurunan bertambah 1,7%, sedangkan yang menjawab kondisi usahanya meningkat hanya bertambah 0,8%.
Selanjutnya, tingkat pesimisme juga meningkat menjadi 9,19% dari 8,72%. Sebaliknya tingkat optimisme menurun sejak Mei yaitu sebesar 66,21% menjadi 65,98% pada Agustus ini.
Febri menambahkan, perlambatan yang terjadi dipengaruhi oleh penurunan nilai IKI di 12 subsektor industri. Subsektor yang mengalami penurunan tertinggi adalah industri percetakan (-5,12), industri makanan (-4,42), peralatan listrik (-4,31), dan industri tekstil (-4,04).
Penurunan ini masih didominasi oleh adanya penurunan pesanan, baik domestik maupun luar negeri.
Neraca Dagang Surplus Lagi
Selanjutnya, konsensus Bloomberg untuk proyeksi neraca perdagangan menghasilkan angka median surplus U$ 1,5 miliar. Lebih tinggi dibandingkan surplus bulan sebelumnya yang US$ 1,31 miliar.
Jika terwujud, maka neraca perdagangan Indonesia akan membukukan surplus selama 40 bulan beruntun.
Namun ke depan, nasib neraca perdagangan akan samar-samar. Kinerja ekspor yang terus merosot adalah ancaman utama.
Faisal Rachman, Ekonom Bank Mandiri, memperkirakan surplus neraca perdagangan akan menyusut pada bulan-bulan ke depan karena penurunan ekspor. Akibatnya, transaksi berjalan (current account) Indonesia diperkirakan defisit tahun ini.
“Kami masih memperkirakan transaksi berjalan berubah dari surplus 0,96% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) pada 2022 menjadi sekitar -0,65% PDB pada 2023. Perubahan ini utamanya karena penurunan kinerja ekspor yang menyebabkan penyusutan surplus perdagangan akibat penurunan harga komoditas dan perlambatan ekonomi global,” tulis Faisal dalam risetnya.
(aji)