Logo Bloomberg Technoz

Reaksi pasar di pasar surat utang juga menunjukkan keyakinan yang lebih besar bahwa tidak ada kekhawatiran baru yang lebih besar terkait arah bunga acuan the Fed. Pasar terlihat masih memegang ekspektasi, Jerome Powell dkk bulan ini akan menahan bunga acuan, sementara probabilitas kenaikan 25 bps pada November atau Desember masih bertahan di 41%, mengindikasikan pelaku pasar masih membutuhkan konfirmasi lebih lanjut untuk petunjuk lebih jelas. 

"Kenaikan inflasi AS memperlihatkan dampak trickle down dari kenaikan harga minyak global sejak Juli lalu. Makanya inflasi inti terpengaruh dengan kenaikan tarif penerbangan hingga 4,9% selama Agustus. Menurut kami, pasar masih meyakini bahwa kenaikan inflasi inti AS bulan lalu sifatnya sementara saja," kata Lionel Prayadi, Macro Strategist Samuel Sekuritas dalam catatan, Kamis (14/9/2023).

Pasar terlihat memilih menunggu lagi data lanjutan dari inflasi Personal Consumption Expenditure (PCE) dan inflasi CPI bulan ini untuk menentukan ekspektasi arah bunga acuan the Fed pada akhir tahun ini.

Indeks harga surat utang negara maju bergeming. Sementara di pasar negara berkembang, harga surat utang terpantau menguat. Di pasar domestik, yield Surat Utang Negara di semua tenor mencatat penurunan, indikasi ada aksi beli dari para pemodal.

Tingkat imbal hasil SUN 10 tahun turun tipis ke 6,63%, disusul tenor 2 tahun dan 5 tahun yang sama-sama di level 6,31%. Sementara tenor lebih panjang 15 tahun juga tergerus imbal hasilnya 6,77%. 

Sedangkan global bond RI, SBN berdenominasi dolar AS, tenor 5 dan 10 tahun tertekan aksi jual dengan kenaikan imbal hasil. Untuk tenor pendek 2 tahun, terlihat penurunan yield mengindikasikan adanya pembelian di pasar.

Dalam lanskap itu, nilai tukar rupiah menikmati optimisme pasar hari ini dengan dolar AS yang bergerak melemah, dengan penguatan 11,5 bps ke kisaran Rp15.359/US$ meski masih dibayangi harga minyak yang kenaikannya juga belum terjeda.

Waspadai Harga Minyak

Harga minyak dunia yang merangkak naik telah memengaruhi kenaikan harga BBM di Amerika di mana kenaikannya mencapai 10,5% selama Agustus lalu.

Kini dengan harga minyak dunia belum terjeda kenaikannya ditambah prediksi kekurangan pasokan oleh International Energy Agency (IEA) sebesar 1,2 juta barel per hari selama sisa tahun ini, menyusul prediksi suram juga oleh Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) yang menyebut pasokan minyak dunia pada kuartal IV-2023 akan mencatat defisit terbesar dalam kurun 10 tahun terakhir.

Kenaikan harga minyak yang mengerek BBM di Amerika telah memengaruhi kenaikan inflasi. Pasar sejauh ini cenderung melihat kenaikan itu hanya sementara. "Kalau [harga minyak dunia] sampai ke US$ 95 per barel, itu masih bisa ditolerir," kata analis. Beda cerita bila kenaikannya hingga melampaui US$ 100 per barel, perhitungan mungkin akan berubah drastis.

Federal Reserve akan menggelar Federal Open Meeting Committe (FOMC) pekan depan pada 20 September. Sejauh ini pasar meyakini the Fed akan menahan bunga acuan di level saat ini 5,5%. Agresivitas the Fed mengerek bunga acuan demi menyeret turun inflasi ke target mereka di 2%. 

Peraih Nobel bidang Ekonomi, Joseph Eugene Stiglitz, mengkritisi kebijakan yang diambil oleh the Fed di mana agresivitasnya mengerek bunga acuan telah menyengsarakan negara-negara berkembang.  

Ada beberapa 'dosa' yang dilakukan the Fed yang akhirnya menjatuhkan perekonomian global saat ini dalam kesulitan.

Pertama, kebijakan bunga agresif. The Fed mengerek bunga tanpa ampun dari sebelumnya mendekati nol persen kini telah melambung ke 5,5%.

"Menurut saya, kesalahan besar menaikkan suku bunga acuan dari posisi sebelumnya yang mendekati nol, di mana suku bunga the Fed sudah tepat berada di tingkat yang normal sejak 2008," jelas Stiglitz.

Ketidakstabilan keuangan global saat ini dipicu oleh efek pandemi Covid-19, bukan karena krisis keuangan global. Sehingga, menurut Stiglitz, the Fed telah melakukan lebih dari apa yang seharusnya dilakukan, dengan menaikkan suku bunga acuan terlalu cepat. 

"Mereka [the Fed] tampaknya percaya bahwa ini disebabkan oleh kelebihan permintaan. Padahal, bukan. Inflasi saat ini disebabkan oleh kurangnya pasokan akibat pandemi Covid-19 dan perang di Ukraina," jelas Stiglitz.

Ia tidak menampik ada kenaikan permintaan. Tapi, kenaikannya tidak bersifat agregat sehingga tidak bisa memicu inflasi global. Artinya, menurut Stiglitz, menaikkan suku bunga adalah kebijakan yang tumpul.

Stiglitz percaya, cara paling jitu mengatasi inflasi saat ini adalah, dengan mengatasi masalah pasokan. Ini sudah terbukti, salah contohnya saat harga mobil naik akibat keterbatasan chip. Ketika masalah pasokan chip teratasi, harga berangsur normal.

Kedua, upaya meningkatkan angka pengangguran. The Fed berharap semakin banyak pengangguran akan menurunkan juga permintaan dan daya beli masyarakat sehingga inflasi jadi lebih rendah. Namun, alih-alih mengendalikan tingkat inflasi dengan menaikkan angka pengangguran, menurut Stiglitz, pemegang kebijakan sejatinya bisa meningkatkan upah pekerja tanpa menyebabkan inflasi yang besar.

Yang menjadi masalah selama ini adalah, perusahaan, ketika melihat ada geliat permintaan, segera melakukan mark up harga yang besar memanfaatkan kekuatan monopolinya. Justru, sikap ini yang mendorong inflasi menjadi lebih liar.

"Oleh karena itu, saya sangat kritis terhadap pernyataan the Fed yang ingin meningkatkan angka pengangguran. Tentu saja, kebijakan itu selalu menimbulkan dampak yang besar bukan hanya di AS sendiri, tapi secara global," tutur Stiglitz.

-- dengan bantuan Krizia P. Kinanti.

(rui/aji)

No more pages