Saking cepatnya, the Fed telah menaikkan suku bunga dari semula 1% menjadi lebih dari 5% saat ini hanya dalam kisaran waktu satu tahun. Dari sini Stiglitz melihat, the Fed salah diagnoa.
"Mereka [the Fed] tampaknya percaya bahwa ini disebabkan oleh kelebihan permintaan. Padahal, bukan. Inflasi saat ini disebabkan oleh kurangnya pasokan akibat pandemi Covid-19 dan perang di Ukraina," jelas Stiglitz.
Ia tidak menampik ada kenaikan permintaan. Tapi, kenaikannya tidak bersifat agregat sehingga tidak bisa memicu inflasi global. Artinya, menurut Stiglitz, menaikkan suku bunga adalah kebijakan yang tumpul.
Stiglitz percaya, cara paling jitu mengatasi inflasi saat ini adalah, dengan mengatasi masalah pasokan. Ini sudah terbukti, salah contohnya saat harga mobil naik akibat keterbatasan chip. Ketika masalah pasokan chip teratasi, harga berangsur normal.
Kemudian, harga minyak yang pernah sentuh US$120/barel akibat keterbatasan pasokan. Ketika pasar kembali dibanjiri suplai minyak, harga berangsur ke level US$80/barel.
Cuma memang, ada momen di mana kenaikan-kenaikan harga itu seolah mencerminkan inflasi tinggi. Namun, menurut Stiglitz, yang menjadi pembeda dengan inflasi akibat kenaikan permintaan secara agregat adalah, sistem yang tetap stabil.
"Kita masih bisa hidup dengan inflasi 3%. Jadi, tidak ada alasan untuk 'mematikan' perekonomian. Inflasi tentunya tidak bisa secara tiba-tiba turun ke 2%," terangnya.
Dosa kedua yang dilakukan the Fed adalah, upaya meningkatkan angka pengangguran. Harapannya, semakin banyak pengangguran akan membuat permintaan dan daya beli masyarakat turun, sehingga inflasi menjadi lebih rendah.
Alih-alih mengendalikan tingkat inflasi dengan menaikkan angka pengangguran, menurut Stiglitz, kita sejatinya justru bisa meningkatkan upah pekerja tanpa menyebabkan inflassi yang besar.
Yang menjadi masalah selama ini adalah, perusahaan, ketika melihat ada geliat permintaan, segera melakukan mark up harga yang besar memanfaatkan kekuatan monopolinya. Justru, sikap ini yang mendorong inflasi menjadi lebih liar.
"Oleh karena itu, saya sangat kritis terhadap pernyataan the Fed yang ingin meningkatkan angka pengangguran. Tentu saja, kebijakan ini selalu menimbulkan dampak yang besar bukan hanya di AS sendiri, tapi secara global," tutur Stiglitz.
IMF dan Bank Dunia
Dosa ketiga datang dari IMF dan Bank Dunia. Namun, perlu dicatat, dosa ini tetap ada kaitannya dengan the Fed.
Meski mengkritisi kebijakan the Fed, Stiglitz tak memungkiri kebijakan the Fed tepat, dalam konteks motif perekonomian AS. Besarnya pengaruh AS terhadap perekonomian global membuat kebijakan yang diambil the Fed berpengaruh terhadap keuangan global.
Yang menjadi masalah adalah, sikap IMF dan Bank Dunia yang justru mengekor the Fed. Ini menjadi kontradiktif dengan tujuan utama dua lembaga keuangan itu untuk membantu keuangan negara-negara berkembang.
Stiglitz menjelaskan, menjadi tidak masuk akal jika IMF dan Bank Dunia yang sebenarnya saling memiliki keterkaitan, mengikuti kebijakan the Fed untuk menaikkan suku bunga.
"Kebijakan lembaga multilateral ini dengan menaikkan suku bunga tentu tidak masuk akal. IMF seharusnya membantu banyak negara yang menghadapi tekanan, bukan ikut menaikkan suku bunga sehingga membuat banyak negara membayar bunga pinjaman yang sangat tinggi," jelas Stiglitz.
Oleh karena itu, Stiglitz berpesan kepada komunitas negara berkembang untuk mendorong IMF dan Bank Dunia mengubah kebijakannya. "Kita tidak bisa menghentikan the Fed untuk mengambil kebijakan yang benar atau salah, tapi kita bisa memastikan bank sentral lainnya tidak ikut menderita akibat kebijakan the Fed yang salah," imbuhnya.
(krz/dhf)