Di tingkat global, sementara itu, ancaman penyempitan pasar juga terjadi di Eropa yang merupakan salah satu kawasan dengan perkembangan produksi dan permintaan kendaraan listrik paling pesat di dunia.
Belum lama ini, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengingatkan Benua Biru tengah merancang peta jalan daur ulang baterai kendaraan listrik, yang menyebabkan akses pasar baterai dari luar kawasan tersebut menjadi terbatas lantaran otoritas setempat lebih memprioritaskan penggunaan baterai daur ulang ketimbang impor baru.
Belum lagi, pasar negara maju seperti Amerika Serikat (AS) cenderung 'mendiskriminasi' baterai yang menggunakan bahan baku dari Indonesia lantaran penambangan nikel di Tanah Air dituding tidak ramah lingkungan dan dikuasai oleh perusahaan asal China.
Tidak hanya itu, BKPM menyebut industri baterai berbasis nikel dan litium diproyeksi mencapai titik jenuhnya sekitar 2040, sebelum digantikan oleh sumber energi yang lebih mutakhir seperti hidrogen biru.
“Ya memang [keinginan Indonesia untuk menjadi hub baterai EV dunia] masih wacana dini. Memang IBC [Indonesia Battery Corporation] sudah jalan? Belum kan? IBC belum jalan, kita sudah ngomong [memasok] 50% kebutuhan baterai dunia. Gimana sih?” tutur Ferdy.
Bagaimanapun, terkait dengan hambatan nontarif yang diterapkan berbagai negara maju terhadap baterai berbahan baku nikel asal Indonesia, Ferdy menyebut pemerintah seharusnya lebih tangkas dalam mengurai isu tersebut.
Dia menambahkan, dengan posisinya sebagai produsen nikel terbesar dunia, Indonesia semestinya memiliki posisi tawar yang tinggi untuk mengatur perdagangan baterai listrik di tingkat internasional.
“Kalau Indonesia enggak mau kirim nikel ke luar, memang siapa negara lain yang bisa menggantikan? Kalau Indonesia berani untuk menutup [keran ekspor], selesai di luar itu. Memang mereka bisa apa? Enggak bisa bikin apa-apa mereka. Jadi mereka bikin aturan [hambatan nontarif] bagaimanapun, kalau Indonesia berhenti ekspor, selesai sudah.”
Menurut Ferdy, IBC —yang berada di bawah holding BUMN sektor pertambangan PT Mining Industry Indonesia (MIND ID)— sebenarnya bisa saja menjadi korporasi baterai EV bertaraf dunia lantaran Indonesia memiliki semua sumber daya mineral, kecuali litium, yang dibutuhkan untuk bahan baku baterai EV.
Akan tetapi, lanjutnya, pemerintah harus memberikan ruang gerak yang lebih leluasa kepada IBC untuk dapat berekspansi dan memberdayakan diri untuk menjadi pemain besar di pasar global.
“Makanya saya bilang, IBC-nya berdiri dahulu, baru kita ngomong target 50% itu. Masalahnya IBC belum mulai, investasinya belum konkret, dan perjanjian bisnisnya dengan perusahaan-perusahaan China dan Korea Selatan juga belum jalan,” tutur Ferdy.
IBC sebelumnya digadang-gadang mampu memproduksi baterai kendaraan berbasis listrik atau EV hingga 46 GWh ada 2034.
Direktur Utama MIND ID Hendi Prio Santoso memperkirakan Indonesia bakal sanggup memenuhi 50% dari kebutuhan EV global pada 2040. Dia juga memprediksi peningkatan permintaan baterai EV sebanyak 5.000 GWH pada 2030.
"Karena MIND ID juga bertujuan untuk menjadi 5 besar perusahaan pertambangan global pada 2033, kami siap berkontribusi terhadap pemenuhan permintaan global akan bahan baterai EV melalui produk olahan kami yang berasal dari komoditas yang ada serta komoditas potensial di masa depan," ujarnya di sela Asean Energy Bussines Forum (AEBF) 2023 di Bali, akhir bulan lalu.
(wdh)