Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Pemerintah telah mengumumkan jadwal libur dan cuti untuk 2024. Hari tidak masuk kerja/sekolah masih bertambah karena pelaksanaan Pemilu.

Tahun ini, total libur dan cuti berjumlah 24 hari. Tahun depan bahkan angkanya bisa bertambah menjadi 29 hari atau nyaris sebulan penuh. Tambahan 2 hari adalah antisipasi jika Pemilihan Presiden (Pilpres) berlangsung 2 putaran.

Keputusan ini tertuang dalam surat keputusan bersama (SKB) 3 menteri yang mengatur hari libur nasional dan cuti bersama tahun 2024. SKB 3 Menteri ini diteken Wakil Menteri Agama Saiful Rahmat Dasuki yang mewakili Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, dan MenPAN-RB Abdullah Azwar Anas.

“Penetapan hari libur nasional dan cuti bersama 2024 dimaksudkan sebagai pedoman untuk masyarakat, keluarga, pelaku ekonomi, pelaku wisata dan sektor swasta agar bisa merancang aktivitas 2024 ke depan serta rujukan bagi kementerian lembaga dalam merencanakan program kerja 2024,” ungkap Muhadjir Effendy, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Semakin banyak hari libur dan cuti bersama, seperti kata Muhadjir, masyarakat memang lebih banyak pelesiran. Efeknya ke ekonomi pun tidak bisa dipandang sebelah mata.

Contohnya ketika cuti bersama Idul Fitri tahun ini ditambah. Tambahan hari libur membuat warga semakin semangat untuk mudik, pulang ke kampung halaman untuk berkumpul dengan keluarga dan handai taulan.

Pada kuartal II-2023, ekonomi Indonesia tumbuh impresif 5,17% year-on-year (yoy). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat mudik lebaran berperan besar dalam pencapaian tersebut.

Menurut kajian BPS, andil mudik terhadap pertumbuhan ekonomi mencapai 1,5 poin persentase secara yoy. Jadi andai tidak ada mudik, maka ekonomi hanya tumbuh 3,67%, tidak sampai 4%.

Produktivitas Manufaktur Berkurang

Namun di sisi lain, ada yang tidak diuntungkan dengan banyaknya hari libur dan cuti bersama. Adalah industri manufaktur yang bakal kehilangan sebagian produktivitasnya.

“Sektor yang bersifat padat karya (labor intensive) akan dirugikan dengan berkurangnya waktu produksi yang mengandalkan kehadiran karyawan, seperti manufaktur," tegas Shinta Kamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), kepada Bloomberg Technoz, Selasa (12/9/2023). 

Industri manufaktur Tanah Air masih mencoba bangkit usai dihantam pandemi Covid-19. Pada kuartal II-2023, utilisasi atau kapasitas produksi terpasang adalah 74,88%, tertinggi dalam 2 tahun terakhir.

Meski begitu, angka tersebut masih jauh dibandingkan masa pra-pandemi. Pada kuartal II-2019, utilisasi produksi masih berada di 77,18%.

Utilisasi Produksi Indonesia (Sumber: BI, Bloomberg)

Dengan berkurangnya hari produktif, maka utilisasi akan berkurang. Ketika utilisasi berkurang, maka produksi industri manufaktur pun melambat.

Padahal industri manufaktur adalah kontributor utama pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi lapangan usaha. Pada kuartal II-2023, kontribusi industri manufaktur mencapai 18,25%, tertinggi di antara sektor lain.

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia menurut Lapangan Usaha (Sumber: BPS)

Deindustrialisasi

Sektor industri manufaktur perlu dipacu karena tidak bisa disangkal bahwa Indonesia mengalami deindustrialisasi. Jika sektor ini sulit tumbuh tinggi, maka ekonomi Indonesia secara keseluruhan juga susah tumbuh tinggi.

“Sebagai sektor terbesar di perekonomian dengan kontribusi hampir seperlima, manufaktur terus tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional sejak 2012. Mengindikasikan adanya risiko deindustrialisasi prematur,” tegas riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI).

Pada 2011, lanjut riset LPEM, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB masih 23%. Tahun lalu, angkanya merosot menjadi 21% dan tahun ini lebih rendah lagi.

Tidak hanya terhadap PDB, sektor manufaktur juga berperan besar dalam penciptaan lapangan kerja. Per Februari 2023, sebanyak 15,58% tenaga kerja berkarya di sektor ini, hanya kalah dari sektor perdagangan (18,93%) dan pertanian (29,36%).

“Proporsi tenaga kerja di sektor manufaktur terhadap seluruh tenaga kerja relatif. Statistik ini mengindikasikan adanya penurunan produktivitas di sektor manufaktur, seiring dengan semakin banyaknya porsi tenaga kerja di sektor ini justru menghasilkan porsi produksi yang lebih rendah,” lanjut riset LPEM.

(aji/ain)

No more pages