“Di situ poinnya. Kalau kita mau jadi pemain besar EV global, masuk ke baterai. Sebab, kalau kita masuk ke pabrik mobil listrik, ya kita kalah saing, karena pemain-pemain besar seperti VW, Tesla, dan sebagainya itu lebih melirik negara lain untuk bangun pabrik mobil listriknya,” jelas Ferdy.
Dia menilai pemerintah semestinya lebih fokus pada investasi ekosistem baterai EV saja, dengan keunggulan komparatif Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia.
Ketiga, sumber daya mineral –khususnya nikel– di Indonesia masih dikuasai oleh asing. Meski pemerintah mengeklaim sukses melakukan penghiliran nikel, 70% industri hilir komoditas tersebut di dalam negeri dikuasai oleh China.
“IMIP [Indonesia Morowali Industrial Park] menguasai 50%, lalu Dragon Virtue 11%, lalu yang di Halmahera itu sudah sekitar 5%—7%. Antam hanya 7%—10%. Kalaupun [MIND ID] dia sukses mengambil alih Vale nanti, kontribusinya enggak seberapa besar, paling di angka 11%. Artinya, [penguasaan lokal terhadap industri nikel] masih jauh,” terangnya.
Keempat, tata niaga nikel di dalam negeri dinilai masih berantakan dan mendesak untuk segera dibenahi. Karut-marut tata niaga nikel tersebut tecermin dari banyaknya laporan pertambangan ilegal hingga ekspor ilegal belakangan ini.
Tidak hanya dari sisi regulasi perniagaan, para pejabat negara yang bersinggungan langsung dengan industri nikel dari hulu ke hilir pun dinilainya harus tertib menjalankan peraturan yang dibuatnya sendiri.
“Itu kasus [korupsi tambang nikel yang mencatut mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM] Ridwan Djamaluddin memalukan sekali. Menurut saya, poin penting bagi Presiden adalah mulai melakukan pembenahan dari segi internal,” tegasnya.
Belajar dari kasus korupsi tambang nikel milik PT Aneka Tambang Tbk. (Antam) di Blok Mandiodo itu, Ferdy menilai pemerintah perlu melakukan reformasi dari dalam untuk membenahi aspek environmental social governance (ESG) dalam pertambangan nikel, jika RI ingin menjadi pemain besar di industri EV dunia.
“Kita mau jadi pemain global? Bisa banget. Hanya kita belum siap untuk ke sana. Regulasinya belum menjamin, birokrasinya juga belum [siap] ke sana. Lalu, perusahaan-perusahaan BUMN kita juga harus disiapkan ke sana,” katanya.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia sebelumnya menyebut RI masih membuka keran investasi terhadap perusahaan pembuat baterai EV. Dia juga menyampaikan ambisi negara sebagai pusat industri baterai EV di global.
“Kita akan buka terus. Kita mau jadikan Indonesia sebagai pusat industri baterai EV terbesar di dunia,” kata Bahlil di sela Rakernas HIPMI di Tangerang, Kamis (31/8/2023).
Menurutnya, hingga saat ini juga sudah terdapat beberapa perusahaan global di Indonesia yang telah berinvestasi dalam industri tersebut, mulai dari raksasa baterai Contemporary Amperex Technology Co. Ltd. (CATL) hingga LG Energy Solutions (LGES).
Anak usaha holding BUMN pertambangan PT Mineral Industri Indonesias (MIND ID), yaitu Indonesia Battery Corporation (IBC) juga disebut akan memproduksi baterai kendaraan berbasis listrik atau EV hingga 46 GWh ada 2034.
Direktur Utama MIND ID Hendi Prio Santoso memperkirakan Indonesia bakal sanggup memenuhi 50% dari kebutuhan EV global pada 2040. Dia juga memprediksi peningkatan permintaan baterai EV sebanyak 5.000 GWH pada 2030.
"Karena MIND ID juga bertujuan untuk menjadi 5 besar perusahaan pertambangan global pada 2033, kami siap berkontribusi terhadap pemenuhan permintaan global akan bahan baterai EV melalui produk olahan kami yang berasal dari komoditas yang ada serta komoditas potensial di masa depan," ujarnya di sela Asean Energy Bussines Forum (AEBF) 2023 di Bali, Jumat (25/8/2023).
(wdh)