Ciri utama pinpri sebagaimana rentenir pada umumnya adalah menawarkan pinjaman tanpa agunan atau jaminan apapun dengan bunga luar biasa mahal dengan bunga sampai 60%. Jadi, semisal utang dicairkan senilai Rp100.000, maka si peminjam harus mengembalikan sebesar Rp160.000.
Untuk mendapatkan pinjaman, seseorang cukup memberikan data pribadi seperti KTP, foto diri serta media sosial. Mirip dengan persyaratan pinjol yang disediakan oleh berbagai perusahaan fintech dan jasa pinjol ilegal.
OJK menegaskan, pinpri harus diwaspadai karena membahayakan masyarakat. Pertama, pinpri beroperasi tanpa pengawasan atau izin dari otoritas keuangan yaitu OJK.
Kedua, pinpri rawan penipuan karena ada biaya yang harus dibayar di awal perjanjian pemberian utang. Berapa besar biaya bisa ditetapkan semena-mena oleh si rentenir.
Ketiga, bunga yang dikenakan sangat tinggi. Bisa mencapai lebih dari 35% dari nilai pinjaman yang diberikan, beberapa bahkan mencapai 60%.
Keempat, pinpri kebanyakan mengenakan periode berutang yang sangat singkat hanya 24 jam saja atau paling lama dua hari.
Kelima, apabila peminjam tidak bisa melunasi utang, rentenir akan menyebar data pribadi peminjam ke media sosial untuk mempermalukannya.
Sebelumnya, Satgas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (PAKI) menyatakan bahwa mereka menemukan 243 entitas serta 45 konten pinjaman online ilegal di sejumlah website, aplikasi dan sosial media. Temuan ini didukung oleh tim Cyber Patrol Kementerian Komunikasi dan Informatika selama Agustus.
Hasil operasi Satgas PAKI ditemukan 15 konten pinjaman pribadi (pinpri). Hal yang berpotensi melanggar karena terdapat unsur penyebaran data pribadi. Kelompok ini menjalankan modus pinjaman dengan menyerahkan syarat data pribadi, seperti KTP, KK, foto profil dan alamat media sosial seluruh penjamin.
Terdapat pula syarat berupa penyerahan nametag (profil dan identitas) pekerjaan juga titik lokasi peminjam. Satgas PAKI meminta publik berhati-hati dengan bentuk penawaran pinpri. Pasalnya ada potensi penyerahan data pribadi peminjam, yang berpotensi disalahgunakan.
Satgas menyatakan sejak 2017 sampai dengan 4 September 2023, mereka telah menghentikan 7.200 entitas keuangan ilegal yang terdiri dari 1.196 entitas investasi ilegal, 5.753 entitas pinjaman online ilegal, dan 251 entitas gadai ilegal.
Pinjol sasar anak muda
Kemunculan pinpri yang kini semakin marak menjerat kalangan yang butuh uang cepat tanpa memperhitungkan biaya pinjaman yang mahal, menjadi episode kesekian dari serial cerita buruk terkait pinjaman online alias pinjol.
INDEF memperingatkan, kini pinjol semakin banyak menyasar anak-anak muda dengan nilai pinjaman rata-rata per Juni 2023 mencapai Rp2,3 juta untuk usia di bawah 19 tahun. Sementara, peminjam dengan usia antara 20-34 tahun, berutang senilai Rp2,5 juta.
Pada saat yang sama, rata-rata pendapatan penduduk usia muda di Indonesia baru sebesar Rp2 juta per bulan berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2021.
Dengan kata lain, anak-anak muda di Indonesia menanggung utang yang melampaui besar pendapatan mereka.
"Peminjam usia muda saat ini sangat potensial dengan nilai rata-rata pinjaman tertinggi mencapai Rp2,3 juta, jauh lebih tinggi dibandingkan awal 2021 lalu. Anak muda jadi incaran pinjol baik yang legal maupun ilegal, didukung oleh sifat konsumtif. Juga, karena banyak yang terjerat judi online," jelas Nailul Huda, Digital Economy Researcher INDEF, dalam paparan awal pekan ini.
Pinjol, fintech, bank digital juga yang termutakhir terlihat mengincar 'kue' yang sama yaitu masyarakat Indonesia yang masuk dalam kategori underbanked dan unbanked. Underbanked adalah seseorang yang telah memiliki akses pada layanan keuangan akan tetapi masih sangat sederhana dalam pemanfaatannya, misalnya hanya sebatas memiliki rekening tabungan.
Sementara unbanked adalah sebutan untuk individu cukup umur yang belum memiliki rekening bank. Di sisi lain juga ada kualifikasi yang membuat individu ini belum memenuhi syarat diberikan pinjaman dari lembaga keuangan formal. Kelompok ini masih lebih suka bertransaksi secara tunai.
"Di Indonesia, masyarakat underbanked dan unbanked mencapai lebih dari 75%," kata analis.
Dengan tingkat literasi keuangan yang masih minim, ditambah terpaan gaya hidup konsumtif, serba instan dan tekanan FOMO, menjadi kombinasi yang berbahaya ketika masyarakat -terutama anak muda- begitu mudah mengakses ataupun dijangkau oleh layanan pinjaman online, baik yang legal maupun ilegal.
Skor pengetahuan keuangan masyarakat Indonesia sejauh ini juga masih di bawah rata-rata negara maju yang tergabung dalam OECD yang mencapai 4,6. Sementara Indonesia hanya di 3,7.
"Itu membuat masyarakat mudah tertipu akan berbagai modus investasi dan keuangan, keputusan pengelolaan keuangan juga kurang rasional ditambah minimnya pengetahuan atas risiko serta pemanfaatan pengelolaan keuangan," tambah Nailul.
-- dengan bantuan Wherry E. Prayogi
(rui/roy)