Pada tahun depan pun, target lifting minyak dalam APBN 2024 hanya ditetapkan sejumlah 625.000 BOPD alias terpental jauh di bawah pagu yang ditetapkan dalam asumsi makro tahun ini.
Menurut catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), salah satu penyebab merosotnya lifting minyak Indonesia adalah persoalan sumur dan kilang yang sudah terlalu tua dan tidak dapat berproduksi maksimal.
“Artinya, kita berharap pemerintah harus benar-benar mendorong realisasi investasi di industri hulu migas, supaya benar-benar apa yang diproyeksikan di APBN itu bisa terealisasi,” ujar Ferdy saat dihubungi, Rabu (13/9/2023).
Menurutnya, saat ini wilayah kerja (WK) milik PT Pertamina (Persero) yang masih dapat ‘diandalkan’ untuk mengerek produksi minyak nasional adalah Blok Rokan dan Blok Mahakam, yang masing-masing baru diambil alih pemerintah dari Chevron Pacific Indonesia pada 2021 dan Total E&P Indonesie pada 2018.
Blok Rokan, menyitir data Kementerian ESDM, merupakan ladang dengan cadangan minyak terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia, dan menyumbang 26% dari total produksi nasional. Cadangan minyak Blok Rokan ditaksir mencapai 500 juta—1,5 miliar barel setara minyak tanpa enhanced oil recovery (EOR).
“Pengeboran di Blok Rokan itu harus didorong terus. Lalu, di Blok Mahakam juga. Sudah dikasih ke Pertamina jadi harus naik, jangan turun produksinya. Kalau turun, ya kita akan bergantung pada harga minyak global, dan jelas pasti akan [menambah beban] subsidi BBM lagi nanti,” jelas Ferdy.
Hati-hati Jelang Akhir Tahun
Sekadar catatan, harga minyak mentah (crude) dunia masih melanjutkan kenaikan hingga mencapai level tertinggi dalam 10 bulan imbas pemangkasan produksi oleh negara-negara pemimpin OPEC+ yang menekan pasokan global.
Harga acuan global Brent pada Rabu pagi menembus level US$92,06 per barel dan West Texas Intermediate (WTI) mendekati US$89 per barel. Keduanya merupakan level tertinggi baru selama tahun ini.
Nilai-nilai tersebut sudah mendekati, atau bahkan melampaui target harga minyak Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) di level US$90 per barel yang dipatok dalam asumsi makro tahun ini.
“Melihat hal ini, target subsidi pasti bakal naik kalau begitu. Saya takutnya, sampai akhir tahun harga minyak akan terus naik, mungkin di angka US$95 per barel. Menurut saya, tidak akan terlalu jauh kalau dilihat dari kondisi global sekarang,” kata Ferdy.
Harga minyak dunia, sambungnya, kemungkinan baru akan turun hanya jika anggota OPEC+ mau meningkatkan produksinya.
“Fatal kalau negara-negara produksi minyak menahan terus. Namun, unutk sementara ini [harga BBM di Indonesia] masih aman ya. Artinya, belum ada tekanan eksternal yang mengganggu, masih di kisaran segitu saja. Akan tetapi, kalau [harga minyak dunia] naik di atas itu sedikit lagi, pasti beban subsidi akan bertambah nanti.”
Dengan demikian, Ferdy kembali menegaskan tidak ada cara bagi Indonesia untuk selamat dari imbas kenaikan harga minyak dunia selain optimasi produksi di blok-blok migas yang masih punya harapan untuk dipacu.
“Artinya, Pertamina harus kerja keras ini. Mereka sudah dikasih kepercayaan untuk mengelola blok-blok besar, harus benar-benar berjalan. Kalau enggak, susah nanti,” tegasnya.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati sebelumnya mengatakan perseroan tengah memantau pergerakan harga minyak dunia, khususnya terkait dengan dampaknya terhadap harga BBM yang menggunakan skema subsidi seperti Solar dan Pertalite.
“Selain suplai, kami menjaga stok atau inventory. Tidak boleh ada kelangkaan produk. Kalau sekarang kelihatannya tidak terlalu banyak gejolak. Namun, menjelang akhir tahun, menjelang musim dingin, ini akan ada peningkatan demand [permintaan] untuk diesel [solar] karena suplai gas dari Rusia sudah banyak disetop, sehingga kebutuhannya digantikan diesel,” ujarnya dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Tahun 2023 oleh Kementerian Dalam Negeri, Senin (4/9/2023).
Potensi lonjakan permintaan solar, kata Nicke, kian diperburuk oleh cuaca ekstrem yang tengah dihadapi Eropa. Walhasil, meski harga minyak mentah bisa dijaga, jika suplainya di pasar berkurang akibat lonjakan permintaan solar, harga minyak pun dapat terbang pada akhir tahun ini.
Untungnya, kata Nicke, Indonesia tidak lagi ketergantungan impor solar. Dengan demikian, kenaikan harga solar di pasar dunia relatif tidak akan memengaruhi harga di dalam negeri. Permasalahannya, Indonesia masih kecanduan impor bensin (gasoline).
“Untuk gasoline seperti Pertamax dan Pertalite, 30% crude-nya masih impor. Ini yang harus kita jaga. Oleh karena itu, kami akan mendorong supaya kita bisa mandiri gasoline. Kalau Solar kita sudah campur dengan biodiesel untuk kemandirian solar. Nah ini pun bisa dilakukan untuk gasoline. Kami melihat gasoline perlu kita campur juga dengan bioenergy untuk jangka panjangnya.”
Menurut catatan Kementerian ESDM, impor BBM Indonesia pada tahun lalu menembus 27,86 juta kiloliter (kl), naik 12,6% dari 2019 atau sebelum pandemi yang sebanyak 24,73 juta kl.
Dari jumlah tersebut, impor bensin RON 90 atau setara Pertalite tahun lalu terdata sekitar 15,11 juta kl atau meroket 86% secara tahunan. Adapun, impor solar tahun lalu mencapai 5,27 juta kl alias naik 65% secara tahunan.
Harga Masih Kompetitif
Bagaimanapun, Pertamina memastikan harga BBM di Indonesia akan tetap kompetitif, meski dibayangi oleh risiko kenaikan harga minyak dunia pada akhir tahun ini di tengah potensi ledakan permintaan solar dari negara-negara Eropa.
VP Corporate Pertamina Fadjar Joko Santoso mengatakan, khusus untuk harga BBM bersubsidi, pengaruh kenaikan harga minyak dunia tetap menjadi kebijaksanaan pemerintah. Sementara itu, BBM nonsubsidi bakal tetap mengikuti harga pasar.
"Untuk [proyeksi] harga BBM nonsubsidi hingga akhir tahun, tentu kita menyesuaikan harga market sebagaimana yang sudah kita terapkan saat ini, harga berubah setiap bulannya. Namun, tentu harga BBM Pertamina tetap kompetitif di kelasnya," ujarnya saat dihubungi, Selasa (5/9/2023).
(wdh)