Selain sentimen arah bunga global, rupiah juga menghadapi risiko pelemahan lebih lama dari pergerakan harga minyak kelapa sawit yang terus longsor.
Harga minyak kelapa sawit mentah tergerus selama enam hari berturut-turut di tengah kenaikan harga minyak dunia, menyusul suplai CPO yang meluber di Malaysia, memicu kekhawatiran akan kian membebani prospek neraca dagang RI dan prospek nilai tukar rupiah.
Harga kontrak CPO di Bursa Malaysia untuk pengiriman Oktober anjlok hingga lebih dari 3% dalam sehari, kemarin (11/9/2023), menjadi penurunan terbesar sehari sejak 1 Agustus lalu dan menggenapi laju pelemahan harga selama enam hari berturut-turut.
Hari ini CPO masih melanjutkan pelemahan ke kisaran RM 3.681 per metrik ton di tengah kenaikan harga minyak yang mencetak rekor tertinggi setahun terakhir di kisaran US$ 91 per barel untuk Brent dan US$ 87,98 untuk WTI.
Pelemahan harga CPO sudah berlangsung sepanjang tahun ini dengan penurunan lebih dari 14% di tengah kenaikan harga minyak dunia menjadi kombinasi risiko besar bagi neraca dagang dan kekuatan rupiah ke depan.
Harga CPO yang makin melemah adalah kabar buruk bagi rupiah mengingat eksportir kelapa sawit mentah sejauh ini menjadi pemasok utama dolar AS di pasar valas domestik dengan nilai ekspor mencapai US$ 2,7 miliar per bulan. Dengan harga yang terus turun dan suplai melimpah, berpotensi menurunkan nilai ekspor dan pada akhirnya memengaruhi sumbangan valas dari sektor CPO.
Dengan prospek penurunan harga yang mungkin akan berlanjut, ada potensi penurunan nilai ekspor yang menyeret pula prospek devisa hasil ekspor dari sektor perkebunan kelapa sawit. "BI mungkin perlu mempertahankan intervensi mata uang cukup besar untuk menstabilkan rupiah selama September ini," kata Satria Sambijantoro, analis Bahana Sekuritas.
(rui)