Adapun, proses pengangkutan karbon dilakukan melalui pipa atau tanker layaknya pengangkutan gas pada umumnya.
Di sisi lain, penyimpanan karbon dilakukan dengan menginjeksi CO2 ke dalam lapisan batuan di bawah permukaan bumi atau akuifer. Lapisan akuifer ini menjadi ‘perangkap gas’ untuk mencegahnya lepas ke atmosfer. Penyimpanan juga dapat dilakukan dengan menginjeksikan karbon ke dalam laut pada kedalaman tertentu.
PLTU Sumber Karbon Utama
Berdasarkan data International Energy Agency (IEA), volume emisi CO2 akibat pembakaran bahan bakar fosil mencapai 56% dari total emisi global. Persentase ini berasal dari sekitar 7.500 instalasi besar pengemisi CO2 yang melepas lebih dari 1000.000 ton CO2 tiap tahunnya.
Kajian IEA juga menyimpulkan, dari jumlah tersebut, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara merupakan sumber emisi utama yang mencapai lebih dari 60%.
Selanjutnya pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) yang mencapai 11% dan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) 7%. Sementara itu, industri lain menyumbang sekitar 3%—7% emsi karbon.
“Dengan demikian, untuk dapat mengurangi emisi CO2 dalam jumlah besar adalah logis jika dilakukan pengendalian atau penangkapan CO2 yang dihasilkan dalam gas buang dari pembangkit listrik. Upaya ini tidak semudah yang dibayangkan mengingat gas buang tersebut pada umumnya memiliki karakteristik bertekanan rendah dan konsentrasi CO2 yang rendah juga, sehingga memerlukan proses tambahan yang membutuhkan energi cukup besar untuk pemisahannya,” papar ESDM.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya mengatakan potensi penyimpanan karbon Indonesia saat ini yang diperkirakan mencapai 400 gigaton, dapat memberikan peluang bisnis dan investasi yang signifikan di negara ini.
"Sektor CCS [saat ini] berkembang pesat, menawarkan investor peluang untuk menjadi yang terdepan dalam industri revolusioner yang menjanjikan keuntungan finansial jangka panjang sekaligus memenuhi tanggung jawab nihil emisi sebagai izin berinvestasi bagi industri global," ujarnya saat membuka acara International and Indonesia Carbon Capture Storage Center (ICCSC) secara virtual, Senin (11/9/2023).
Di tingkat global, kata Luhut, total nilai investasi terhadap CCS/CCUS telah mencapai US$6,4 miliar atau sekitar Rp98,2 triliun (asumsi kurs saat ini), dengan kontribusi investasi dari Asia sebesar US$1,2 miliar (Rp18,4 triliun).
"Indonesia seharusnya menjadi bagian utama dari investasi teknologi ini," tegasnya.
Di sisi lain, Dirjen Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengungkapkan pemerintah berniat memonetisasi fasilitas CCS/CCUS di dalam negeri dengan mengizinkan negara lain untuk membayar jasa penangkapan dan penyimpanan karbon di Indonesia.
“Namun, ‘impor’ bukan bayar ya. Maksudnya, mereka yang mau pakai sistem penyimpanan karbon kita, malah harus bayar. Jadi kita ke depan semacam ‘jualan gudang’ lah bisnisnya. Jualan gudang CO2,” ujarnya saat ditemui, Senin (11/9/2023) petang.
Salah satu negara yang potensial untuk dijadikan pangsa pasar monetisasi CCS/CCUS Indonesia, kata Tutuka, adalah Singapura. Negara kota tersebut tidak memiliki lapangan migas, sehingga terdapat keterbatasan dalam ruang penyimpanan karbon.
“Mereka mau simpan CO2 ke mana? Nah, CO2 itu nanti akan dikenai pajak progresif. Tahun depan US$25/ton CO2, tahun depannya lagi menjadi US$45/ton CO2. Jadi kalau orang mau membuang CO2 kan mikir, mending saya simpan saja,” terangnya
Akan tetapi; skema, lokasi, beserta detail mekanisme dan persyaratan lain dalam komersialisasi perdagangan karbon lintas negara tersebut masih dibahas oleh pemerintah saat ini sebelum dituangkan ke dalam berbagai peraturan baru.
Saat ini implementasi CCS/CCUS di sektor hulu migas sudah diatur pemerintah dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 2/2023 tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, Serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Beleid tersebut mengatur bahwa perusahaan migas yang mengoperasikan CCS/CCUS harus menyesuaikannya dalam rencana pengembangan atau plan of development (POD) di wilayah kerjanya. Bagi perusahaan nonmigas, POD-nya juga harus mencantumkan bahwa sumber CCS/CCUS yang dikelolanya berasal dari luar sektor migas.
(wdh)