Selain mencari lokasi potensial, lanjutnya, pemerintah juga tengah merancang skema bagi hasil dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang mengoperasikan CCS/CCUS dan mau menampung karbon dari negara lain. Terlebih, operasional fasilitas tersebut menggunakan rezim cost recovery.
“Ini sedang dalam pembahasan. Nanti kalau diregulasi, misalnya kalau kita menyimpan karbon itu, tentu saja bagaimana meyakinkan mengenai tingkat isolasi dari reservoir yang digunakan untuk menyimpan karbon. Kalau terjadi kebocoran, itu kan saja saja kita membawa limbah masuk ke sini. Oleh karena itu, [harus diperhitungkan] mengenai social cost,” kata Dwi.
Sekadar catatan, investasi CCS/CCUS di tingkat global diklaim telah mencapai US$6,4 miliar atau sekitar Rp98,2 triliun (asumsi kurs saat ini), dengan kontribusi investasi dari Asia sebesar US$1,2 miliar (Rp18,4 triliun). Namun, belum diketahui berapa investasi yang telah terealisasi di Tanah Air untuk sektor tersebut.
Risiko Keamanan
Lebih lanjut, salah satu tantangan pengembangan CCS/CCUS di dalam negeri adalah keberterimaan oleh masyarakat lokal. Terlebih, masih terdapat stigma bahwa karbon dioksida (CO2) berbahaya, seperti halnya dengan pembangunan pembangkit nuklir.
Untuk itu, Dwi memastikan pemerintah akan membahas secara matang mengenai skema isolasi karbon di tempat penampungan atau reservoir agar tidak terjadi kebocoran maupun risiko berbahaya lainnya.
“Dan tentu saja, kalau memang nanti kita sukses, sudah ada indikator-indikator untuk bisa menunjukkan bahwa ini sudah aman atau tidak, kembali ke aspek bisnisnya bagaimana,” kata Dwi.
Sejauh ini, sambungnya, pemerintah sudah menyetujui pengembangan CCS/CCUS oleh BP di Blok Tangguh sebagai proyek percontohan. Pemerintah juga meminta BP untuk mengomersialkan fasilitas tersebut sebagai ‘gudang karbon’ lantaran Indonesia sudah memiliki payung hukum untuk perdagangan karbon.
“Kalau carbon trading sudah berjalan, ini mesti dipakai di situ, dan benefit-nya tentu harus dibagi antara kontraktor dan pemerintah,” tegasnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengatakan Indonesia akan mengizinkan ‘impor’ karbon dioksida (CO2) dari luar negeri untuk dikelola dengan sistem CCS/CCUS di dalam negeri.
“Namun, ‘impor’ bukan bayar ya. Maksudnya, mereka yang mau pakai sistem penyimpanan karbon kita, malah harus bayar. Jadi kita ke depan semacam ‘jualan gudang’ lah bisnisnya. Jualan gudang CO2,” ujarnya saat ditemui, Senin (11/9/2023) petang.
Salah satu negara yang potensial untuk dijadikan pangsa pasar monetisasi CCS/CCUS Indonesia, kata Tutuka, adalah Singapura. Negara kota tersebut tidak memiliki lapangan migas, sehingga terdapat keterbatasan dalam ruang penyimpanan karbon.
“Mereka mau simpan CO2 ke mana? Nah, CO2 itu nanti akan dikenai pajak progresif. Tahun depan US$25/ton CO2, tahun depannya lagi menjadi US$45/ton CO2. Jadi kalau orang mau membuang CO2 kan mikir, mending saya simpan saja,” terangnya.
Tutuka menjelaskan kerja sama penggunaan CCS/CCUS di Indonesia dapat dilakukan secara bilateral melalui nota kesepahaman antarpemerintah atau government to government (G2G).
Nantinya, lanjut Tutuka, kesepakatan tersebut dapat diteruskan ke tingkat antarperusahaan atau business to business (B2B) dengan sistem kontrak. “Misalnya, perusahaan A dengan Pertamina. Kalau A mau setor karbon ke lapangan [migas] Pertamina, ya nanti bayar,” sebutnya.
Saat ini implementasi CCS/CCUS di sektor hulu migas sudah diatur pemerintah dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 2/2023 tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, Serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Beleid tersebut mengatur bahwa perusahaan migas yang mengoperasikan CCS/CCUS harus menyesuaikannya dalam rencana pengembangan atau plan of development (POD) di wilayah kerjanya. Bagi perusahaan nonmigas, POD-nya juga harus mencantumkan bahwa sumber CCS/CCUS yang dikelolanya berasal dari luar sektor migas.
(wdh)