Keduanya tengah mengawal proses revisi Permendag No. 50 Tahun 2022 yang mengatur Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Media Sistem Elektronik (PPMSE). Salah satu poin revisi adalah pelaku usaha tidak bisa menyatukan dua bidang bisnis, media sosial dan e-commerce, dalam satu entitas.
Baik Zulhas ataupun Teten menyatakan praktik social commerce menjadi bentuk memerangi produk dalam negeri. Skema ini diklaim dapat merugikan pengusaha lokal, karena derasnya impor barang-barang berharga murah tanpa melalui mekanisme importasi umum.
Terciptanya harga murah lewat cross border commerce tidak menguntungkan bagi Indonesia. “Itu kalau gak diatur collapse pak. [hanya butuh waktu] tiga bulan aja industri beauty kita collapse. Makanya itu ditata melalui instrumen Permendag,” kata Zulhas.
“Aturannya social media tidak bisa otomatis jadi e-commerce. Social media, social media saja. Kalau jadi e-commerce dia beda lagi izinnya. Usulan kita pak, tapi rapatnya di antar kementerian. Nanti jadinya kayak apa, kita lihat, karena dari pelaku UMKM minta ke kita [Kementerian Perdagangan],” timpal Zulkifli di hadapan anggota dewan belum lama ini.
Sementara Teten menyatakan bahwa , “India dan AS berani menolak dan melarang TikTok menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan. Sementara, di Indonesia TikTok bisa menjalankan bisnis keduanya secara bersamaan,” ucap dia.
Zulhas menegaskan, Permendag hasil revisi tengah dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Isy Karim, pihaknya tengah menunggu keterangan penyelesaian harmonisasi dari Kemenkumham.
(wep)