Ramalan Fitch selaras dengan taksasi pemerintah bahwa kebutuhan LPG 3 Kg atau ‘tabung gas melon’ akan mencapai 3,5% di atas kuota yang ditetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023.
Dari kuota LPG bersubsidi yang ditetapkan sebanyak 8 juta ton pada 2023, pemerintah memperkirakan permintaan sampai dengan akhir tahun ini dapat menembus 8,28 juta ton.
“Permintaan LPG masih akan terus naik karena kurangnya pasokan dan infrastruktur distribusi,” papar Fitch.
Selain LPG, permintaan bahan bakar di Indonesia ke depan bakal ditopang oleh kebutuhan yang tinggi terhadap bahan bakar jet lantaran industri penerbangan makin menunjukkan gejala pemulihan yang lebih stabil setelah dihajar pandemi Covid-19.
“Kami memperkirakan permintaan bahan bakar jet akan pulih sepenuhnya pada 2024, sehingga berkontribusi terhadap pertumbuhan konsumsi bahan bakar,” jelas para peneliti dalam laporan tersebut.
Di sisi lain, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) jenis bensin dan solar diproyeksi hanya tumbuh 1,4% per tahun selama 2023—2032, dengan volume tetap di bawah angka 2,1 juta barel per hari pada 2032.
Hal itu, menurut Fitch, dipicu oleh determinasi pemerintah memangkas subsidi BBM sejak 2022. Sekadar catatan, pada September 202, pemerintah untuk pertama kalinya menaikkan harga Solar dan Pertalite dalam 8 tahun.
Berdasarkan analisis angka kebutuhan bensin dan solar pada 2023, pemotongan subsidi membantu memperlambat permintaan tahunan terhadap BBM sektor transportasi. Perbandingan konsumsi bensin pada lima bulan pertama 2023 menunjukkan sedikit atau bahkan tidak ada pertumbuhan secara year on year (yoy).
Pemangkasan subsidi terhadap bensin Pertalite RON 90, yang mewakili sekitar 83% dari total konsumsi bensin, tampaknya memperlambat pertumbuhan permintaan bensin.
“Meskipun permintaan bensin umumnya cenderung tidak elastis terhadap perubahan harga, kenaikan harga eceran RON 90 akan menjaga pertumbuhan permintaan bensin karena konsumen menjadi kian sensitif terhadap harga, lantaran mereka tidak lagi terisolasi dari harga energi yang lebih tinggi dan tekanan inflasi lainnya yang membatasi pengeluaran.”
Dampak Adopsi EV Minimalis
Selain akibat pemangkasan subsidi BBM, perkiraan turunnya konsumsi bensin dan solar di Indonesia dipicu oleh mulai masifnya substitusi BBM –termasuk biofuel seperti mandatori biodiesel– serta insentif dekarbonasi.
Meski demikian, faktor adopsi EV disebut belum menjadi pemberat laju permintaan BBM di Tanah Air.
“Meskipun terdapat potensi yang signifikan bagi kendaraan listrik di sektor transportasi, adopsi EV di Indonesia masih berada pada tahap awal dan tertinggal dari negara Asia Tenggara lain seperti Thailand dan Malaysia. Rasio sepeda motor yang lebih tinggi dalam armada angkutan dapat menjadi sasaran adopsi EV, sehingga pemerintah menggalakkan penjualan sepeda motor listrik,” papar riset tersebut.
Menurut proyeksi Tim Otomotif BMI, Indonesia hanya akan mencapai tingkat penetrasi EV sebesar 1,6% pada 2023 dan mencapai angka tertinggi sebesar 5,9% pada 2032.
Armada kendaraan listrik akan melonjak, tetapi tetap berada di bawah 2% dari total armada di Indonesia pada 2032.
“Potensi hilangnya permintaan BBM dari armada konvensional akibat transformasi EV di sektor transportasi agak terbatas, tetapi tetap membatasi pertumbuhan konsumsi bensin dan solar di Indonesia.”
Sebaliknya, faktor mandatori biodiesel disebut sebagai ‘ancaman’ terbesar terhadap pertumbuhan permintaan bahan bakar fosil di Indonesia.
“Kami mengantisipasi pertumbuhan permintaan solar dalam jangka panjang akan berkurang karena pemerintah menerapkan serangkaian kebijakan untuk mengurangi ketergantungan terhadap solar untuk pembangkit listrik dan impor,” papar Fitch.
Pemerintah saat ini sedang melaksanakan substitusi solar dengan gas alam pada 52 pembangkit listrik berbahan bakar solar milik PT PLN (Persero). Di samping itu, mandatori biodiesel juga dinaikkan dari B30 menjadi B35 sejak Februari 2023, meski implementasinya belum masif di beberapa daerah.
Pada 2024, pemerintah berencana menaikkan mandatori bauran biodiesel menjadi 40% atau B40. Langkah itu dirancang untuk memanfaatkan bahan baku minyak sawit dalam negeri untuk produksi bahan bakar dan mengurangi ketergantungan terhadap impor solar.
PT Pertamina (Persero) pun telah melakukan investasi pada unit produksi biodiesel yang terintegrasi di dalam kilangnya. Perseroan telah menyelesaikan dua pabrik biodiesel yang terintegrasi di kilang Cilacap dan Dumai untuk meningkatkan produksi domestik.
Adapun, untuk bioetanol, Indonesia belum melakukan mandatori. Namun, sejak Juni 2023, pemerintah menyetujui pencampuran etanol 5% atau E5 untuk dinaikkan secara bertahap menjadi E8 dan pada akhirnya E10 pada 2030.
Pertamina juga memproduksi bahan bakar bio-jet dijuluki sebagai “Bioavtur J2.4” dari kilang Dumai dan Cilacap untuk digunakan di industri transportasi udara dalam negeri. Namun, volumenya kecil dan kemungkinan dampaknya terhadap penurunan BBM belum akan signifikan.
Pemerintah Indonesia mempromosikan bahan bakar alternatif yang layak secara komersial karena ingin mengurangi ketergantungan impor BBM. Namun, Indonesia kemungkinan tidak akan memiliki kilang baru dalam 3—4 tahun ke depan.
“Namun, jika kilang Tuban dengan kapasitas 300.000 BOPD selesai dibangun, Indonesia akan dapat memenuhi permintaan bahan bakar alternatif pengganti BBM,” papar riset tersebut.
(wdh)