Tutuka menjelaskan kerja sama penggunaan CCS/CCUS di Indonesia dapat dilakukan secara bilateral melalui nota kesepahaman antarpemerintah atau government to government (G2G).
Nantinya, lanjut Tutuka, kesepakatan tersebut dapat diteruskan ke tingkat antarperusahaan atau business to business (B2B) dengan sistem kontrak. “Misalnya, perusahaan A dengan Pertamina. Kalau A mau setor karbon ke lapangan [migas] Pertamina, ya nanti bayar,” sebutnya.
Lebih lanjut, Tutuka mengatakan saat ini implementasi CCS/CCUS di sektor hulu migas sudah diatur pemerintah dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 2/2023 tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, Serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Beleid tersebut mengatur bahwa perusahaan migas yang mengoperasikan CCS/CCUS harus menyesuaikannya dalam rencana pengembangan atau plan of development (POD) di wilayah kerjanya. Bagi perusahaan nonmigas, POD-nya juga harus mencantumkan bahwa sumber CCS/CCUS yang dikelolanya berasal dari luar sektor migas.
“Ya kalau mau memasukkan CCS/CCUS, seperti yang dilakukan di Blok Masela, ya POD Masela harus direvisi,” sebut Tutuka.
Sebagai gambaran, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memperkirakan kebutuhan investasi CCUS di Blok Masela saja mencapai sekitar US$1,2 miliar—US$1,3 miliar (sekitar Rp18,4 triliun—Rp19,94 triliun).
Mekanisme Transaksi Karbon
Di sisi lain, Tutuka menjelaskan Permen ESDM No. 2/2023 baru mengatur ihwal penangkapan dan penyimpanan karbon di sektor migas melalui sistem injeksi ke reservoir, belum meregulasi mengenai sistem penangkapan dan penyimpanan di dalam akuifer atau lapisan bawah tanah.
“Kalau CCUS ke akuifer itu belum bisa, harus menunggu perpres [peraturan presiden]-nya. Biayanya semua nanti dengan sistem cost recovery, kemudian menggunakan mekanisme perdagangan karbon. Kalau dia mau jual CO2 [karbon dioksida], nanti SKK Migas yang mengaturnya. Namun, karena biayanya menggunakan cost recovery, berarti pendapatannya dari luar nanti. Itu sedang kita buat juga [peraturan teknisnya].”
Adapun, lanjut Tutuka, mekanisme komersialisasi CCS/CCUS oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas juga mencakup keharusan registrasi guna mendapatkan ‘sertifikat karbon’.
“Setelah diregistrasi, akan keluar sertifikat. Itu yang disyaratkan, makanya ada [aturan jual beli karbon di] bursa karbon oleh OJK [Otoritas Jasa Keuangan]. Nah, kalau kami di migas, di ESDM itu, secara teknis peraturannya lebih ke soal mekanisme bagaimana memasukkan [CCS/CCUS] itu ke dalam skema cost recovery. Jadi semacam skema pembiayaannya. Kalau soal penjualan CO2 dan sebagainya tidak diatur oleh ESDM,” terang Tutuka.
Adapun, sertifikasi karbon yang diterima KKKS migas nantinya menggunakan mekanisme Bandan Standardisasi Nasional (BSN) agar sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).
“Kurang lebih modelnya seperti itu. Nanti akan kami keluarkan aturan itu, bahwa setiap [perusahaan] yang akan inject karbon akan terdata dan nanti bisa menjadi semacam sertifikasi, recognition lah begitu.”
Potensi Pendapatan
Tutuka mengaku saat ini pemerintah belum memperhitungkan berapa potensi pendapatan yang bisa diraup KKKS dari komersialisasi CCS/CCUS, meski memperkirakan jumlahnya akan cukup signifikan. Terlebih, Indonesia memiliki kapasitas penyimpanan karbon dalam jumlah sangat besar.
Menurut data International Energy Agency (IEA), potensi kapasitas penyimpanan karbon di Tanah Air mencapai 200 juta ton CO2, tetapi pemerintah mengeklaim jumlahnya jauh di atas itu.
“Sekarang kita lihat begini saja, BP [dahulu British Petroleum] akan melaksanakan itu dengan pilot project-nya. Dia akan lihat bisa dapat berapa. Karena masalahnya kita pakai skema cost recovery, jadi ada bagian pemerintah, bagian KKKS, dan sebagainya. Mekanisme carbon credit juga belum established. Jadi kalau mau estimasi [potensi pendapatannya] ya belum begitu bisa. Namun, potensinya sangat besar,” tegas Tutuka.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan potensi penyimpanan karbon Indonesia saat ini yang diperkirakan mencapai 400 gigaton, dapat memberikan peluang bisnis dan investasi yang signifikan di negara ini.
"Sektor CCS [saat ini] berkembang pesat, menawarkan investor peluang untuk menjadi yang terdepan dalam industri revolusioner yang menjanjikan keuntungan finansial jangka panjang sekaligus memenuhi tanggung jawab nihil emisi sebagai izin berinvestasi bagi industri global," ujarnya saat membuka acara International and Indonesia Carbon Capture Storage Center (ICCSC) secara virtual, Senin (11/9/2023).
Di tingkat global, kata Luhut, total nilai investasi terhadap CCS/CCUS telah mencapai US$6,4 miliar atau sekitar Rp98,2 triliun (asumsi kurs saat ini), dengan kontribusi investasi dari Asia sebesar US$1,2 miliar (Rp18,4 triliun).
"Indonesia seharusnya menjadi bagian utama dari investasi teknologi ini," tegasnya.
(wdh)