“Jadi menurut saya ini memperpanjang umur modal yang telah kami investasikan dalam jangka panjang. Ini adalah solusi yang bagus bagi kami,” tuturnya.
Mengutip Peta Jalan IEA untuk Net Zero Emission di sektor energi, teknologi CCUS diproyeksi berkontribusi lebih dari 10% terhadap akumulasi pengurangan emisi global pada 2050. Khusus untuk kawasan Asia Tenggara, kebutuhan CCS/CCUS mencapai 35 juta ton karbon dioksida pada 2030 dan lebih dari 200 juta ton karbon dioksida pada 2050.
Adapun, kebutuhan investasi CCS/CCUS di wilayah kerja (WK) migas Indonesia relatif bervariasi. Sebagai gambaran, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memperkirakan kebutuhan investasi CCUS di Blok Masela saja mencapai sekitar US$1,2 miliar—US$1,3 miliar (sekitar Rp18,4 triliun—Rp19,94 triliun).
Potensi Hub Karbon
Pada kesempatan yang sama, Stavinoha menambahkan Chevron berniat membangun simpul atau hub CCS/CCUS di Indonesia yang kapasitasnya setara dengan wilayah kerja mereka di Teluk Meksiko Amerika Serikat (AS). Saat ini raksasa migas Amerika itu sedang mengidentifikasi berbagai lokasi yang cocok dijadikan hub penangkapan karbon.
“Jadi, secara kolektif, ketika kami mendirikan pusat industri [penangkapan karbon], kami membuka pasar tersebut kepada kelompok [perusahaan] kecil yang mungkin tidak menemukan solusi ekonomi untuk menyelesaikan masalah [emisi karbon] ini sendirian. Kami ingin berpartisipasi dalam pembangunan hub yang lebih besar sehingga banyak manfaat dan skala ekonomi yang bisa didapatkan melalui infrastruktur bersama,” tuturnya.
Stavinoha menjelaskan Chevron juga sudah mempelajari potensi investasi penangkapan dan penyimpanan karbon di Indonesia. Menurut riset perusahaan, RI memiliki kapasitas potensial sekitar 200 juta ton emisi.
“Potensi penyimpanan berdasarkan pengecekan kami di wilayah ini cukup signifikan. Kami juga melihat beberapa reservoir yang [kapasitas penyimpanannya] sudah habis di Kalimantan Timur. Kami gembira dengan adanya potensi akuifer garam di Indonesia. Saya pikir ini merupakan keuntungan besar bagi Indonesia, karena banyak negara yang tidak memiliki ruang penyimpanan yang dekat atau kemampuan penyimpanan secara geologis, termasuk Korea Selatan, Jepang, dan Singapura.”
Meski demikian, dia mengingatkan bahwa investasi penangkapan dan penyimpanan karbon harus dilakukan secara konsisten untuk mewujudkan dekarbonasi di industri migas dan pembangkit listrik. Makin tidak konstan, makin mahal pula biaya investasi untuk dekarbonasi.
“Untuk melakukan jenis investasi ini dalam jangka 20—30 tahun, kami mencari stabilitas untuk mengerahkan modal. Selalu ada risiko, tetapi kita bisa mengukurnya. Menurut saya, hal ini mungkin bisa dimulai dengan uji coba dan kami akan selalu bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk membantu mendorong investasi ini,” ujarnya.
Sekadar catatan, Chevron dan PT Pertamina (Persero) pada awal Maret telah memulai kolaborasi untuk melakukan studi kelayakan CCCS/CCUS di Kalimantan Timur. Ini merupakan kesepakatan kedua antara kedua perusahaan, menyusul kolaborasi yang diumumkan di Washington DC pada Mei 2022 untuk menjajaki potensi peluang bisnis rendah karbon di Indonesia.
Kesepakatan pertama, diumumkan pada acara B20 di Bali pada November 2022 —antara Chevron New Energies, Pertamina Power Indonesia, dan Keppel Infrastructure— yang bertujuan untuk menjajaki pengembangan proyek hidrogen hijau dan amonia hijau dengan menggunakan energi terbarukan di Indonesia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif sebelumnya mengatakan pemerintah mendukung upaya Chevron dan Pertamina untuk mencapai target emisi nol karbon pada 2060.
“CCS/CCUS merupakan inisiatif yang sangat penting bagi agenda pemerintah dalam program dekarbonisasi. Kemitraan ini akan berkontribusi dalam menciptakan landasan yang kuat untuk mencapai tujuan transisi energi Indonesia” kata Arifin, awal Maret.
Sekdar catatan, Indonesia telah menyelesaikan harmonisasi regulasi CCS/CCUS yang diharapkan dapat mendorong pengembangan lebih banyak lagi proyek-proyek dekabonasi di Tanah Air.
Regulasi itu termaktub dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 2/2023 tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, Serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
(wdh)