Luhut juga mengatakan jika total nilai investasi terhadap teknologi CCS/CCUS di global telah mencapai US$6,4 miliar ata sekitar Rp98,2 triliun (asumsi kurs saat ini), dengan kontribusi investasi dari Asia sebesar US$1,2 miliar (Rp18,4 triliun).
"Indonesia seharusnya menjadi bagian utama dari investasi teknologi ini," kata dia.
Terkait dengan pengembangan teknologi itu, Pemerintah Indonesia sendiri telah memiliki regulasi melalui Peraturan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tentang penangkapan karbon yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No. 2/2023 tentang Pelaksanaan CCS/CCUS di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Namun demikian, Direktur Teknik dan Lingkungan Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Mirza Mahendra mengatakan regulasi tersebut hanya fokus kepada penangkapan dan penyimpanan karbon di wilayah kerja (WK) migas saja.
"Saat ini kita upgrading lagi, untuk bagaimana kita membuat regulasi yang CCS-nya tetapi yang under industries. Jadi kan memungkinkan karbon-karbon dari industri lain dimasukkan ke dalam reservoir kita, di-inject. Nah, itu belum ada," ujarnya di sela Asean Energy Business Forum (AEBF) 2023 di Nusa Dua, Bali, Jumat (25/8/2023).
Kini, pemerintah juga tengah menggodok peraturan presiden (perpres) soal carbon capture storage (CCS) yang ditargetkan selesai akhir 2023. Setidaknya, terdapat tiga point utama yang melandasi perlunya Peraturan Presiden ini.
Pertama diperlukan landasan hukum untuk mendukung pengembangan CCS yang aman dan efektif serta memberikan kepastian hukum bagi para investor. Kedua, untuk mengakomodasi pelaksanaan kegiatan CCS yang terintegrasi dari seluruh sektor dan transportasi lintas batas CO2. Ketiga, pemanfaatan potensi simpanan geologi Indonesia sebagai CCS Hub.
Saat ini, Indonesia sendiri memiliki 15 proyek yang akan mengembangkan teknologi penyimpanan karbon dioksida (CO2), khususnya pada sektor migas dengan total kapasitas hingga 4,31 Giga Ton.
(ibn/frg)