Dalam wawancara di acara APPEC by S&P Global Commodity Insights di Singapura pada 4 September, Ross menyebut penerbangan domestik di China sudah 110% dibandingkan level sebelum pandemi. Lalu warga China juga banyak bepergian melalui jalur darat dengan mobil berbahan bakar BBM.
“Mungkin Anda akan melihat permintaan BBM pesawat terbang sekitar 500.000 barel/hari dari China saja. Penjualan BBM juga melejit saat musim panas, orang-orang sangat bersemangat untuk bepergian,” tegasnya.
Dengan perkembangan tersebut, Ross memperkirakan harga minyak Brent bisa menyentuh kisaran US$ 90-100/barel pada akhir tahun ini.
Analisis Teknikal
Namun, bisakah harga minyak menyentuh US$ 100/barel seperti proyeksi Ross?
Secara teknikal, rasanya harga minyak Brent di level US$ 100/barel belum akan terjadi dalam waktu dekat. Dengan perspektif (time-frame) harian, sejatinya minyak sudah masuk area jenuh beli (overbought).
Ini ditunjukkan dengan skor Relative Strength Index (RSI) sebesar 71,11. Nilai RSI di atas 70 menandakan suatu aset memang bullish, tetapi sudah overbought.
Dalam waktu dekat, harga minyak sepertinya akan masuk fase konsolidasi. Target koreksi terdekat ada di US$ 90.4/barel, seperti yang ditunjukkan di Moving Average (MA) 5. Jika tertembus, maka ada kemungkinan turun lagi menuju US$ 88,78/barel.
Untuk time-frame bulanan, Brent juga masih berada di zona bullish dengan RSI 55,08. Namun, risiko koreksi ternyata lebih besar.
Target koreksi bahkan bisa mencapai US$ 82,4/barel. Jika tertembus, maka ada risiko turun lagi ke US$ 82,08/barel.
Kabar Baik Buat Indonesia
Jadi, harga minyak Brent sepertinya sulit bertahan di kisaran US$ 90/barel dalam waktu dekat karena risiko koreksi cukup tinggi. Apalagi menyentuh US$ 100/barel, rasanya perlu waktu yang lebih lama.
Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak lebih mendatangkan mudarat ketimbang manfaat. Maklum, Indonesia adalah negara net importir minyak.
Pada Juli 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor migas Indonesia melonjak 40,94% dari bulan sebelumnya menjadi US$ 3,13 miliar. Sedangkan ekspor migas turun 2,61% ke US$ 1,22 miliar.
Bank Indonesia melaporkan, neraca migas pada kuartal II-2023 membukukan defisit US$ 4,33 miliar. Lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya yang minus US$ 3,98 miliar.
Defisit neraca migas menjadi beban bagi transaksi berjalan alias current account, yang membukukan defisit US$ 1,93 miliar (-0,55% dari Produk Domestik Bruto/PDB). Ini menjadi defisit pertama sejak kuartal I-2021.
Transaksi berjalan adalah fundamental dari nilai tukar mata uang. Sebab, transaksi berjalan mencerminkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa. Valas dari pos ini lebih bertahan lama dibandingkan pasokan dari investasi portofolio di sektor keuangan (hot money) yang bisa datang dan pergi sesuka hati.
Saat transaksi berjalan Indonesia defisit, tidak heran kalau rupiah melemah. Dalam sebulan terakhir, rupiah melemah 0,53% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Sepanjang Agustus, rupiah melemah 1%.
Bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023, kenaikan harga minyak juga berdampak negatif. APBN 2023 mengasumsikan rata-rata harga minyak di US$ 90/barel.
Setiap rata-rata harga minyak US$ 1 di atas asumsi, maka penerimaan negara bertambah Rp 3,3 triliun.
Namun pada saat yang sama, belanja negara naik Rp 9,2 triliun sehingga menyebabkan tambahan defisit Rp 5,8 triliun.
Waspadai Kenaikan Harga BBM
Saat harga minyak dunia naik, harga jual BBM dalam negeri pun berpeluang naik, terutama yang non-subsidi. Ini sudah terjadi pada awal September.
Untuk harga Pertamax RON 92, naik menjadi Rp 13.300/liter yang sebelumnya Rp12.400/liter. Sementara itu, Pertamax Turbo juga naik menjadi Rp 15.900/liter dari sebelumnya Rp 14.400/liter.
Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, menyebut selisih harga antara BBM subsidi dengan non-subsidi makin lebar.
“Perhatikan melebarnya selisih harga antara Pertamax dan Pertalite. Ini akan membuat konsumen beralih dari BBM non-subsidi ke BBM bersubsidi,” sebut Satria dalam risetnya.
Dalam waktu dekat, lanjut Satria, mungkin dampaknya belum terasa karena BBM RON 92 ke atas hanya dikonsumsi oleh kurang dari 15% pelanggan. Namun jika harga minyak dunia terus naik sehingga harga BBM non-subsidi harus naik, maka selisih harga tadi akan kian lebar.
“Waspadai tekanan di neraca pembayaran dan anggaran negara pada kuartal IV-2023, karena akan berdampak terhadap nilai tukar rupiah dan belanja subsidi pemerintah,” sambung Satria.
(aji)