Kenaikan harga beras selama Januari-Agustus telah mencapai 8%, sementara bila secara tahunan kenaikannya telah mencapai 13,76% pada Agustus 2023, tertinggi sejak 2015.
Kenaikan harga beras berlangsung di tengah kemarau panjang yang mengancam stok pangan menyusul potensi gagal panen di berbagai daerah, ditambah langkah pembatasan ekspor beras oleh beberapa negara produsen yang memperketat pasokan global.
Bukan cuma beras yang membuat rumah tangga merogoh kocek lebih banyak untuk berbelanja, harga BBM nonsubsidi yang melompat akibat kenaikan harga minyak dunia, juga membayangi inflasi di sisa tahun.
BBM nonsubsidi yang dijual di SPBU Pertamina naik harga di atas 7% untuk jenis Pertamax Ron 92, sedangkan Pertamax Turbo naik 10,4% jadi Rp15.900/liter. Untuk jenis BBM nonsubsidi lain seperti Dexlite kenaikannya bahkan melampaui 15%.
Kenaikan harga dua komoditas penting seperti beras dan BBM, dicemaskan dapat melonjakkan pengeluaran rumah tangga. Tanpa ada pengimbangan dari kenaikan pendapatan, ada potensi pengurangan alokasi pengeluaran untuk barang konsumsi lain.
Mengacu pada survei konsumen terakhir yang dilansir oleh Bank Indonesia pekan lalu, porsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi (propensity to consume) tercatat meningkat di mayoritas kelompok pengeluaran di bawah Rp4 juta. Kelompok pengeluaran antara Rp2 juta hingga Rp3 juta mencatat kenaikan pengeluaran konsumsi tertinggi.
Bersamaan dengan hal itu, porsi pendapatan yang dialokasikan untuk utang dan tabungan menurun. Kenaikan porsi pendapatan yang dialokasikan untuk tabungan hanya dicatat oleh kelompok pengeluaran di atas Rp4 juta.
Data simpanan terbaru yang dirilis oleh Lembaga Penjamin Simpanan, menyebut, nilai simpanan nasabah ritel dengan nilai saldo di bawah Rp100 juta mencatat penurunan nilai pada Juli lalu 0,3% dan bila dibandingkan posisi akhir 2022, posisinya tergerus 1,1%.
Bansos Beras
Hari ini pemerintah memulai penyaluran bantuan sosial pangan berupa beras 10 kilogram bagi sekitar 21 juta rumah tangga selama tiga bulan ke depan.
Pemberian bansos pangan itu diharapkan dapat meredam dampak kenaikan harga pangan terutama bagi kelompok rentan agar daya beli masih bertahan dengan peningkatan pengeluaran untuk kebutuhan pangan.
Bagi masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan, pengeluaran untuk pembelian beras bisa memakan 20% pendapatan.
Pada saat yang sama pertumbuhan upah di Indonesia masih belum menggembirakan. Dua tahun sebelum pandemi Covid-19 pecah, upah pekerja di dalam negeri tumbuh antara 3%-3,15%. Sementara ketika pandemi merebak dan memicu gelombang PHK massal, pertumbuhan upah RI amblas hingga -5,4% pada 2020 dan masih terkontraksi hampir 1% pada tahun berikutnya.
Pertumbuhan upah baru bangkit pada 2022, sebagian karena low base effect, dengan kenaikan di atas 12% pada saat inflasi di level 5,51%. Sementara pada 2023, berdasarkan atas data BPS terakhir per Februari lalu, pertumbuhan upah kembali terkontraksi -4,11% saat inflasi RI masih di atas 5%.
Upah yang tidak mampu tumbuh melampaui inflasi menggerus daya beli dan mengancam prospek penjualan ritel ke depan. Ditambah bayang-bayang lonjakan inflasi akibat kenaikan harga pangan dan BBM, daya beli bisa semakin mengempis dan menyeret penjualan eceran.
Prospek Jangka Panjang
Meski cenderung suram dalam jangka pendek, prospek permintaan barang konsumsi di dalam negeri berpotensi meningkat dalam jangka panjang dengan dukungan populasi yang terus bertumbuh dan bisa mendongkrak laju konsumsi.
Pertumbuhan populasi RI mencapai 15% antara 2022-2050 di mana jumlah penduduk diprediksi akan melampaui 317 juta jiwa, menurut Bank Dunia. "Itu bisa mendorong lebih banyak konsumsi hingga 2025," tulis Catherine Lim dan Trini Tan, analis Bloomberg Intelligence dalam riset terbaru yang dirilis pekan lalu.
Penjualan ritel masih dimotori oleh laju konsumsi di Pulau Jawa, di mana gerai ritel terbanyak berdiri dan sumbangan penjualan di Jawa mencapai separuh dari total penjualan perusahaan-perusahaan ritel mulai dari Ramayana, Matahari, Aca Hardware hingga Unilever dan Mitra Adiperkasa.
Pada saat yang sama, ada potensi kenaikan penjualan ritel dari sektor pariwisata yang diprediksi akan bangkit penuh pada 2024 di mana kunjungan turis diperkirakan akan pulih seperti prapandemi.
Juni lalu, mengacu data BPS, total kedatangan wisatawan mencapai 1 juta untuk pertama kali sejak Covid-19 pecah, setara dengan 74% dari jumlah kunjungan pada 2019. Pada Juli, angkanya naik lagi menjadi 76%.
Pemerintah optimistis bisa menarik 10 juta wisatawan tahun ini, melampaui target sebelumnya 8,5% juta orang. Pada saat yang sama, pelemahan nilai tukar rupiah yang sudah di kisaran 8% dibandingkan pergerakan rata-rata pada 2019, akan menjadi pemicu juga bagi para wisatawan untuk berbelanja lebih royal saat berkunjung ke Indonesia. Itu menjadi kabar baik bagi penjualan ritel.
(rui/aji)