BFI juga masih memiliki fasilitas pembiayaan dari bank yang bisa digunakan untuk membiayai ekspansi perseroan sampai akhir tahun nanti. Sementara dari pasar modal, pada medio Juni lalu, perseroan mencatatkan obligasi berkelanjutan senilai Rp1,1 triliun yang merupakan bagian dari penerbitan obligasi senilai total Rp6 triliun.
Dana itu digunakan juga oleh perseroan membiayai ekspansi pembiayaan baru tahun ini yang ditargetkan senilai Rp21 triliun, relatif datar dibanding target tahun lalu. Sampai separuh pertama tahun ini, perusahaan telah mencetak pembiayaan baru senilai Rp10,3 triliun.
Pembiayaan korporasi tertahan
Survei Bank Indonesia terakhir yang dirilis pertengahan Agustus lalu mengungkapkan, permintaan pembiayaan oleh korporasi hingga 3 bulan mendatang atau sampai Oktober, masih akan stabil.
"Pembiayaan korporasi terutama digunakan. untuk mendukung aktivitas operasional dan membayar kewajiban yang jatuh tempo yang tidak bisa di-rollover," jelas BI.
Korporasi juga masih lebih banyak memakai dana sendiri dari laba ditahan untuk membiayai kebutuhan dana, disusul oleh pemanfaatan fasilitas kelonggaran tarik.
"Sementara pembiayaan yang bersumber dari pengajuan kredit baru ke perbankan dalam negeri terindikasi melambat dibanding bulan sebelumnya," demikian hasil survei BI.
Sikap menahan diri korporasi dari pengajuan pembiayaan baru itu juga tecermin dari realisasi nilai penerbitan obligasi selama semester 1-2023.
Otoritas Jasa Keuangan mencatat, sampai akhir Juni 2023 nilai penerbitan obligasi korporasi baru sebesar Rp45,99 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp72,73 triliun.
Meski ada potensi nilai emisi akan lebih tinggi pada semester II tahun ini berdasarkan pipeline yang mencapai kisaran lebih dari Rp60 triliun.
Berdasarkan penelusuran Bloomberg Technoz, tercatat setidaknya ada 100 obligasi korporasi berdenominasi rupiah yang jatuh tempo tahun ini dengan nilai besar didominasi perbankan dan BUMN.
Total nilai outstanding obligasi milik korporasi berdenominasi rupiah yang jatuh tempo dalam waktu dekat sampai akhir 2023 adalah sekitar Rp 43,41 triliun. Di antaranya adalah obligasi Rp3 triliun milik PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang jatuh tempo 21 September dan memberi kupon 8,5%. Bank Mandiri juga memiliki obligasi berkupon 8,5% yang jatuh tempo pada 30 September senilai Rp1,5 triliun.
Ada juga obligasi senilai Rp1,1 triliun berkupon 7,9% milik PT Jasa Marga Tbk (JSMR) yang jatuh tempo 8 September. Disusul obligasi berkupon 5,5% milik PT Merdeka Gold Copper Tbk (MDKA) yang jatuh tempo pada hari yang sama senilai Rp1,47 triliun.
Kemudian obligasi jatuh tempo senilai Rp900,5 miliar milik PT Bank Pembangunan Daerah Jabar dan Banten Tbk (BJBR) disusul obligasi PT Pegadaian Persero senilai Rp1,25 triliun, dengan kupon 6,45% dan jatuh tempo 22 September.
Obligasi-obligasi korporasi yang jatuh tempo itu beberapa diterbitkan lima tahun lalu di mana ketika itu yield benchmark masih di kisaran 8%-9%. Dengan kini tingkat imbal hasil lebih rendah, korporasi sebenarnya memiliki kesempatan refinancing dengan kupon lebih murah. Akan tetapi, pertimbangan biaya dana lebih murah itu masih kalah dengan kebutuhan pendanaan yang mengempis akibat permintaan pasar yang cenderung lesu.
Bank Mandiri, sebagai contoh, memilih melunasi obligasi senilai Rp3 triliun yang jatuh tempo bulan ini. Dalam Keterbukaan Informasi di Bursa Efek Indonesia, Bank Mandiri menyatakan, telah menyiapkan dana pembayaran pokok Obligasi Berkelanjutan I Bank Mandiri Tahap III Tahun 2018 dengan pokok sebesar Rp3 triliun. Obligasi itu jatuh tempo 21 September. Sementara pelunasan obligasi kedua senilai Rp1,5 triliun yang jatuh tempo 30 September, belum ada penjelasan persiapan dananya.
(rui/hps)