Hal ini membuat Kemenperin memang menggenjot pemasangan alat tersebut pada titik-titik konsentrasi industri.
Selain pemasangan alat, perusahaan yang berada di kawasan konsentrasi industri harus menyerahkan data dekripsi tentang sumber potensi cemaran dan emisi yang dihasilkan. Hal ini termasuk jumlah cerobong, koordinat cerobong, dan proses produksi yang berkontribusi terhadap emisi.
Perusahaan juga wajib memberikan data mengenai jumlah dan ketinggian cerobong yang digunakan. Selain itu perusahaan diharapkan memiliki catatan data pemantauan emisi dalam bentuk Laporan Hasil Uji (LHU) emisi setiap enam bulan, serta menjelaskan lokasi dan luasan penyimpanan batubara.
Menurut dia, sebagian besar perusahaan industri yang berada di bawah pemantauan ketat tim inspeksi, memiliki boiler sebagai bagian dari proses produksi atau pun sumber energi.
Tiap perusahaan ini dikenakan kewajiban untuk melaporkan seluruh aktivitas industrinya, termasuk titik-titik kritis yang berpotensi menimbulkan emisi.
Menurut Eko, Kemenpenrin juga melibatkan asosiasi industri agar dapat membantu sosialisasi kebijakan baru tersebut.
“Untuk industri yang belum melakukan pelaporan, unit-unit kerja di Kemenperin yang membina industri telah memiliki jadwal untuk melakukan pengecekan dan verifikasi di lapangan,” kata dia.
Selain polusi, Eko mengatakan, pengendalian emisi di sektor industri merupakan langkah untuk mendorong penerapan industri hijau. Pemerintah ingin perusahaan industri dan perusahaan kawasan industri terus mengadopsi prinsip-prinsip industri hijau agar berkontribusi terhadap upaya menjaga kelestarian lingkungan.
Di samping itu, pemenuhan prinsip industri hijau juga sejalan dengan tuntutan pasar atas produk-produk ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Saat ini, menurut dia, perusahaan dapat meningkatkan daya saing produk dengan klaim penerapan industri hijau. Pasar dan konsumen sudah mulai mendukung perusahaan yang menerapkan prinsip-prinsip industri hijau mulai dari perencanaan, proses, sampai pembuangan.
(frg/wep)