Angka pengeluaran dunia usaha menunjukkan belanja perusahaan turun 1% secara tidak tahunan. Belanja konsumen juga turun lebih dari perkiraan awal.
Data terpisah menunjukkan pertumbuhan gaji melambat tajam sehingga mengurangi upah riil sebesar 2,5% setelah memperhitungkan dampak inflasi.
Angka yang diumumkan Jumat ini sesuai dengan indikasi bahwa kondisi domestik yang lesu memberikan tekanan pada pemulihan negara ini. Data ini mendukung pandangan Perdana Menteri Fumio Kishida bahwa rumah tangga dan dunia usaha memerlukan lebih banyak bantuan menghadapi inflasi yang terkuat dalam beberapa dekade.
Bank of Japan juga mungkin melihat perlunya melanjutkan kebijakannya untuk merangsang aktivitas karena prospek permintaan eksternal meredup akibat perlambatan di China dan pengetatan moneter di negara lainnya.
"Saya memperkirakan ekonomi akan mengalami kontraksi di kuartal ketiga karena permintaan luar negeri turun setelah naik banyak,” kata Taro Saito, kepala penelitian ekonomi di NLI Research Institute.
Meski demikian, data yang baru diumumkan ini mengungkap pertumbuhan ekspor tahunan sebesar 12,9% dan penurunan impor dua digit.
Pertumbuhan ini masih membuat ekonomi tumbuh sedikit lebih besar dari sebelum pandemi dan kenaikan pajak penjualan pada akhir 2019, tetapi konsumsi pribadi masih di bawah level itu dan masih lebih lemah dibandingkan dengan musim panas 2014.
Dengan inflasi lebih dari 3% yang memakan habis pengeluaran rumah tangga, para pembuat kebijakan khawatir bahwa pemulihan pasca-pandemi berisiko terhenti, terutama jika perlambatan global berlanjut.
"Harga minyak dan pergerakan mata uang saat ini mengarah pada inflasi yang lebih cepat dari yang diharapkan," kata Kenta Domoto, konsultan di Mitsubishi Research Institute. "Tanpa subsidi Kishida, konsumen akan menghadapi lonjakan harga bensin yang besar. Ini akan memiliki dampak negatif yang cukup besar pada sentimen konsumen."
—Dengan asistensi Ryotaro Nakamaru dan Yuko Takeo.
(bbn)