Fasilitas pengolahan tersebut ditargetkan sanggup memproduksi 60.000 ton nikel dan 5.000 ton kobalt per tahun dalam bentuk MHP. Adapun, mitra yang digandeng Vale untuk proyek tersebut a.l. Zhejiang Huayou Cobalt Co. Ltd (Huayou) dan PT Huali Nickel Indonesia (Huali).
Dijadwalkan segera mulai konstruksi setelah mendapat perizinan, pabrik HPAL tersebut berlokasi di Malili, Luwu Timur, Sulawesi Selatan dan dirancang untuk mengolah bijih nikel kadar rendah dari Blok Sorowako.
Terkait dengan proyek tersebut, Naidoo mengatakan Vale memastikan akan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar tambang, sebagaimana proyek-proyek lain milik perseroan yang dioperasikan di Indonesia.
“Jadi, proyek yang sangat penting yang kami miliki dan sedang berjalan saat ini adalah mengolah limonite yang sebelumnya dibuang-buang, dan membuat proyek HPAL. Ini semua menarik,” tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Naidoo menanggapi soal ‘pengucilan’ nikel asal Indonesia dari skema insentif Amerika Serikat di bawah payung Undang-Undang Pengurangan Inflasi atau Inflation Reduction Act (IRA) of 2022.
Melalui UU tersebut, Pemerintah AS memberikan insentif fiskal bagi komoditas mineral yang digunakan untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik, termasuk di antaranya adalah nikel. Dana yang akan digelontorkan untuk insentif tersebut mencapai US$370 miliar.
Namun, baterai kendaraan listrik yang mengandung komponen mineral asal Indonesia kemungkinan besar tidak akan mendapatkan subsidi tersebut.
Penyebabnya, Indonesia dinilai tidak memenuhi syarat karena belum memiliki perjanjian perdagangan bebas atau free trade agreement (FTA) dengan AS. Tidak hanya itu, AS menilai industri pertambangan nikel RI didominasi oleh perusahaan China, yang dicap kurang etis dalam menjaga aspek lingkungan di industri pertambangan.
“Saya pikir satu-satunya posisi di sini adalah pentingnya dialog dan tindakan. [...] Kita tidak boleh menciptakan hambatan teknis dan nonteknis yang tidak disengaja dalam memanfaatkan apa yang dimaksudkan sebagai ‘subsidi’ untuk semua orang. Jadi itu bagian yang, saya pikir, harus dibahas lebih lanjut [dengan Amerika],” tuturnya.
Sekadar catatan, Saat ini, Vale Indonesia mengoperasikan fasilitas pemurnian nickel matte eksisting berkapasitas 70.000—80.000 ton per tahun di Sorowako, Sulawesi Selatan. Smelter yang sepenuhnya milik INCO itu menggunakan 100% teknologi hydropower.
Adapun, tiga proyek baru Vale yakni pertama, pabrik pengolahan berbasis HPAL di Sorowako yang merupakan hasil patungan dengan Zhejiang Huayou Cobalt Co. Ltd. berkapasitas produksi 60.000 ton nikel dalam format MHP. Fasilitas ini ditujukan untuk menunjang industri baterai dan kendaraan listrik dan akan mulai konstruksi akhir 2023.
Kedua, smelter RKEF ramah lingkungan di Bahadopi, Morowali. Fasilitas ini dibangun dengan menggandeng Xinhai dan Tisco -anak usaha raksasa baja China, Baowu- dan dirancang untuk memproduksi 70—80 kiloton nikel.
Pabrik ini murni tidak menggunakan batu bara dan diklaim sebagai smelter rendah karbon terbesar kedua setelah Sorowako. Produksi dari fasilitas itu bakal digunakan untuk menunjang industri baja nirkarat, sedangkan konstruksi pabrik ditargetkan rampung sekitar 2024—2025.
Ketiga, smelter HPAL Pomalaa dengan kapasitas 120.000 ton nikel dalam format MHP. Ditargetkan rampung 2025, pabrik ini merupakan hasil patungan INCO dengan Huayou dan Ford Motor Co. Selain smelter Bahadpoi, proyek ini juga termasuk dalam salah satu proyek strategis nasional (PSN).
(wdh)