“Sekarang pun kami melakukan pembangunan kilang yang kami sebut RDP Balikpapan, yang sebenarnya juga untuk mengurangi emisi karena sebelumnya [kilang tersebut] menghasilkan produk dengan kualitas Euro 2. Ini bisa kita tingkatkan menjadi Euro 5,” jelasnya.
Setelah ditingkatkan menjadi standar Euro 5, Nicke mengatakan bahan bakar minyak (BBM) yang dihasilkan dari kilang Balikpapan dapat menekan kandungan sulfur oksida lebih dari 99%, demikian juga dengan kandungan NOx-nya. Dengan demikian, diharapkan BBM yang diproduksi Pertamina dapat menurunkan emisi gas metan
“[Untuk bioetanol] itu salah satu produk bioenergi kami yang bentuknya etanol dan memang bisa dicampur dengan bensin. Etanol sendiri bisa dari molase tebu, dari singkong, sorgum, jagung, atau dari limbah. Semua limbah tanaman ini bisa diproses [untuk bahan bakar nabati],” jelasnya.
Selain bioetanol, lanjut Nicke, Pertamina sebelumnya sudah sukses mengembangkan dan mendorong program mandatori biodiesel sampai ke tahap bauran 35% (B35) dari bahan baku minyak kelapa sawit.
Bauran solar dengan biodiesel memungkinkan untuk dikembangkan secara masif lantaran Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Dia pun menilai biodiesel cocok untuk pasar Indonesia.
“Ini juga membuka lapangan pekerjaan, mulai dari perkebunannya, pabrik pemrosesannya, maupun distribusinya. Jadi ini salah satu yang sudah kami luncurkan,” tuturnya.
Berikutnya, Pertamina juga mulai mengembangkan bahan bakar ramah lingkungan berbasis gas, yaitu hidrogen. Perseroan, kata Nicke, telah melakukan uji coba hidrogen hijau untuk sektor transportasi.
“Tentu saja produk lain akan kami lakukan juga penjajakan, apakah pengembangan teknologi, ataupun kita menggunakan teknologi yang sudah terbukti di luar, kemudian diadaptasi dengan kebutuhan dalam negeri.”
Terpisah, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengatakan, berbeda dengan biodiesel yang sejak awal dirancang untuk produksi skala besar, bioetanol diterapkan dalam skala kecil pada 2008—2009, kemudian terhenti dan berlanjut lagi pada 2015—2016.
“Program ini terpaksa terhenti karena tiga faktor utama, yaitu tingginya biaya bahan baku, ketidaklestarian bahan baku karena rendahnya kapasitas produksi dan konflik penggunaan nonbahan bakar, serta tidak tersedianya insentif,” ujarnya di sela Indonesian Sustainability Forum (ISF), Kamis (7/9/2023).
Tutuka mengatakan tahun ini pemerintah mulai kembali fokus mengembangkan bioetanol dengan melakukan uji coba pasar skala terbatas di Jawa Timur. Dalam hal ini, pada kuartal III-2023, Pertamina telah meluncurkan Pertamax Green 95 yang merupakan bensin Pertamax dengan bauran bioetanol 5% (E5).
Selanjutnya, untuk mendukung keberlanjutan mandatori bioetanal, pada Juni 2023, pemerintah juga telah menerbitkan keputusan presiden tentang percepatan swasembada gula nasional dan penyediaan bioetanal untuk bahan bakar nabati, serta melakukan kajian pemanfaatan batang sawit tua dan sorgum manis untuk menghasilkan bioetanol.
(wdh)