Jokowi memilih untuk mengabaikan perdebatan tersebut ketika negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia dan Filipina melayangkan protes atas peta baru China yang menunjukkan klaim lebih luas di Laut China Selatan.
Ketergantungan ekonomi yang cukup tinggi antara negara-negara Asia Tenggara dengan China dinilai menjadi salah satu faktor. ISEAS – Yusof Ishak Institute di Singapura mengeluarkan hasil riset yang menunjukkan besarnya bantuan dan utang dalam portofolio pembiayaan untuk pembangunan di Asia Tenggara oleh China antara tahun 2000 hingga 2017.
Dalam jangka waktu tersebut, rasio perbandingan antara bantuan dengan utang secara keseluruhan adalah 1:5. Artinya, setiap 1 dolar bantuan yang mengalir ke Asia Tenggara, terdapat utang sebesar 5 dolar yang menyertainya.
Dari angka-angka tersebut terlihat bahwa China cenderung lebih banyak memberikan pinjaman dibandingkan bantuan dalam program pembangunan di Asia Tenggara.
Evan A. Laksmana, seorang mitra senior untuk Southeast Asia Military Modernisation di International Institute for Strategic Studies (IISS-Asia) yang berbasis di Singapura, mengatakan 'dana asing' tidak ada hubungan dalam konteks negosiasi CoC di Laut China Selatan. Negosiasi CoC bukan untuk menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan.
"Perundingan negosiasi antara ASEAN dengan China untuk Laut China Selatan adalah untuk mencari sebuah dokumen yang belum terlalu jelas seperti apa, dalam konteks apakah dokumen itu legaly binding atau yang lainnya," kata Evan saat dihubungi oleh Bloomberg Tehchnoz.
"Ini masih menjadi bagian dari diskusi," tambah Evan. "Intinya selama masih ada proses negosiasi, harapannya justru ada semangat membantun hubungan baik antara negara-negara ASEAN yang bersengketa dengan China di Laut China Selatan. Karena kan tidak semua negara ASEAN bersengketa dengan China di Laut China Selatan," lanjutnya.
Evan tidak memungkiri ketergantungan ekonomi terhadap China menjadi salah satu faktor yang membuat negara-negara ASEAN tidak secara langsung membahas sengketa tersebut di KTT yang digelar di Jakarta.
Hal yang membuat negara-negara Asia Tenggara tidak bisa semerta-merta mengambil keputusan yang sifatnya mengganggu hubungan mereka dengan China secara terbuka.
"Terlepas dari apa yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir, negara-negara yang bersengketa seperti Malaysia dan Filipina tetap meneruskan hubungan ekonomi dengan China," ujar Evan.
"Saya rasa memang ada faktor hubungan ekonomi, tetapi saya tidak akan bilang ini merupakan faktor yang paling menentukan dari proses negosiasi. Memang agak susah dan agak lama karena prosesnya sudah lama, dan progress-nya sangat sedikit sekali dalam 4-5 tahun terakhir. Tapi harus diakui lebih cepat daripada 15 tahun pertama," tambahnya.
Sebelumnya, Filipina melayangkan protes terkait peta standar terbaru China yang mengklaim lebih luas Laut China Selatan. Penolakan Filipina menyusul langkah serupa yang diambil Malaysia, yang memprotes klaim sepihak China atas perairan di Sabah dan Sarawak.
India sebelumnya juga mengajukan protes diplomatik kepada Beijing terkait peta yang menunjukan China mengklaim wilayah India di Himalaya.
(bbn)