Logo Bloomberg Technoz

Dalam kesempatan itu, Zulhas pun mengakui sudah mengusulkan bentuk aturan tata kelola social e-commerce

"Aturannya, sosial media tidak bisa otomoatis jadi e-commerce. sosial media, sosial media saja, kalau jadi e-commerce dia beda lagi izinnya. Usulan kita pak, tapi rapatnya di antarkementerian. Nanti jadinya seperti apa kita lihat, karena dari pelaku UMKM telah memintak ke kita," ujar Zulhas.

Usulan kedua, sambung Zulhas, e-commerce juga tidak boleh menjadi produsen. Usulan ketiga, lanjutnya, yang bisa diimpor langsung adalah barang yang memang tidak ada dan memang tidak diproduksi Tanah Air.

"Kalau yang kita punya, dia mau, ya impor seperti biasa. jadi kelihatan maka disebut positif list," ujarnnya.

Permendag No 50/2020

"Instrumen yang saya gunakan adalah Permendag," tegas Zulhas.

Hal yang dimaksud Zulkifli adalah Permendag No. 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Layanan media sosial Tiktok. (dok Bloomberg)

Meski demikian, kabar revisi Permendag yang tengah dibahas tersebut masih belum menemui titik terang. Kabar teranyar yang diketahui publik, revisi UU itu masih dalam tahap harmonisasi.

Hingga berita ini diturunkan, Kamis (7/9/2023), Bloomberg Technoz belum mendapatkan konfirmasi dari Kemendag melalui Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Isy Karim.

Ramai wacana pelarangan Tiktok berjualan. Isu itu mencuat usai Menkop UKM Teten Masduki menegaskan penolakan pemerintah atas kegiatan TikTok menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan di Indonesia.

"India dan Amerika Serikat berani menolak dan melarang TikTok menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan. Sementara, di Indonesia TikTok bisa menjalankan bisnis keduanya secara bersamaan," kata Teten dalam keterangannya, Rabu (6/9).

“Dari riset, dari survei kita tahu orang belanja online itu dinavigasi, dipengaruhi perbincangan di media sosial. Belum lagi sistem pembayaran, logistiknya mereka pegang semua. Ini namanya monopoli," ujarnya.

Pemerintah, ujarnya, juga dianggap perlu melarang platform digital untuk menjual produk sendiri atau produk yang berasal dari afiliasinya. Dengan begitu, pemilik platform digital tidak akan mempermainkan algoritma yang dimilikinya untuk menghadirkan praktik bisnis yang adil.

“Pemerintah juga perlu melarang barang yang belum diproduksi di dalam negeri meski harganya berada di bawah 100 dolar AS. Tujuannya adalah agar barang-barang tersebut bisa diproduksi oleh UMKM Tanah Air,” ujar Teten.

(ain)

No more pages