Kabar Baiknya
Bagaimanapun, Georgieva menilai masih ada ‘kabar baik’ di balik segala ancaman ekonomi akibat krisis iklim di Asia Tenggara. Kabar baik itu, menurutnya, adalah negara anggota Asean mulai mengambil tindakan atas komitmen Perjanjian Paris yang harus menjamin netralitas karbon pada 2050.
Dia memuji Indonesia yang pada tahun lalu melangkah lebih jauh dengan membuat komitmen untuk menargetkan sekitar 50% pembangkit listrik berbasis energi terbarukan pada 2030.
“Bravo untuk Indonesia! Kita juga melihat banyak negara di kawasan ini berada di posisi terdepan. Dalam upaya transisi energi, Singapura dan Thailand termasuk di antara negara-negara dengan kinerja terbaik di dunia. Dan saya juga melihat tahun lalu apa yang sudah dilakukan Indonesia untuk memulihkan hutan bakau,” tutur Georgieva.
Selain itu, dia juga mengapresiasi Indonesia dalam kecepatan menggaet pendanaan swasta untuk mengatasi isu perubahan iklim.
“Kami juga mendengar dari Kadin tentang bagaimana dunia usaha di Indonesia beradaptasi dengan dunia yang menganggap tantangan perubahan iklim sebagai prioritas utama dunia usaha.”
Bantuan IMF
Pada kesempatan yang sama, Georgieva juga mengelaborasi peran sistemis IMF dalam memerangi perubahan iklim, termasuk dalam pembentukan mekanisme perdagangan karbon di tingkat global.
Pertama, IMF mengintegrasikan adaptasi dan mitigasi dalam saran kebijakan kepada negara-negara dan menjadi pihak yang paling bersuara dalam mendukung penetapan harga karbon. Dengan demikian, IMF dapat memiliki insentif untuk mempercepat transisi menuju ekonomi hijau saat ini.
“Saat ini, harga karbon secara global rata-rata sebesar US$5 per ton. Kami telah menghitung bahwa pada 2030 seharusnya menjadi US$75 per ton. Kami sangat yakin bahwa kami perlu bergerak cepat dalam mengatasi emisi karbon. Jadi hutan di Indonesia, hutan di Papua Nugini, hutan bakau di negara-negara ini, lebih bernilai bagi masyarakat Anda dibandingkan dengan jika ditebang. Dan Anda akan melihat kami di COP 28, kami akan mendorong komitmen yang lebih cepat terhadap nilai penyerap karbon,” tegasnya.
Kedua, IMF sebagai lembaga keuangan. Tahun lalu, kata Georgieva, untuk pertama kalinya dalam sejarah IMF, lembaga tersebut membentuk iinstrumen pembiayaan konsesi jangka panjang yang dimulai dengan US$40 miliar untuk memberikan pembiayaan sektor ramah lingkungan dengan tenor 20 tahun.
“Dan saya berharap Papua Nugini akan menjadi salah satu negara berikutnya yang mendapat manfaat dari instrumen ini. Kami sudah memiliki 10 negara dalam satu tahun dan kami berusaha untuk melayani keanggotaan dengan cepat,” jelas Georgieve.
Ketiga, dalam penilaian sektor keuangan, IMF memasukkan risiko stabilitas keuangan terkait dengan perubahan iklim.
“Jadi kami harus melakukan penilaian sektor keuangan di mana saja. Sekarang kami katakan, mari kita lihat apa yang ada di neraca Anda. Pembiayaan apa yang perlu Anda hapus secara bertahap? Dan bagaimana Anda dapat meningkatkan pendanaan adaptasi dan mitigasi?”
Untuk itu, IMF terus berupaya untuk memasukkan kerentanan intensitas karbon terhadap risiko iklim ke dalam serangkaian indikator makroekonomi. Selain pertumbuhan PDB, lapangan kerja, inflasi neraca pembayaran, negara-negara juga harus bisa melihat kerentanan intensitas karbon terhadap risiko iklim.
Keempat, IMF menerapkan kebijakan ramah lingkungan yang baik dalam pengembangan kapasitas, terutama pelatihan bagi kementerian keuangan dan bank sentral dalam pengambilan kebijakan.
“Untuk siapa kami bekerja? Kami bekerja untuk anggota kami. Namun yang terpenting, kami bekerja untuk masa depan anak-anak kami, sebagai direktur pelaksana IMF. Setiap kali saya dihadapkan pada pilihan yang sulit, saya melihat foto kedua cucu saya. Apa hal benar yang harus dilakukan untuk dunia? Menjadi tempat yang lebih baik bagi mereka untuk bermetastasis,” tutup Georgieva.
(wdh)