Hal ini juga memberikan dorongan kepada tuan rumah G-20 Narendra Modi menjelang pertemuan puncak akhir pekan di New Delhi dan kepada UEA, penyelenggara pertemuan iklim COP28 tahun ini, yang telah mendesak negara-negara besar untuk mendukung rencana energi terbarukan.
Juru bicara Kementerian Energi Terbarukan India menolak mengomentari pembicaraan tersebut.
Diskusi antara para menteri energi G-20 pada Juli berakhir tanpa kesepakatan setelah Arab Saudi dan Rusia, salah satu eksportir bahan bakar fosil terbesar di dunia, memblokir usulan komitmen peningkatan tiga kali lipat energi terbarukan, kata Menteri Ekonomi Jerman Robert Habeck pada saat itu.
Beberapa negara di Timur Tengah telah menyerukan perundingan tersebut untuk lebih memanfaatkan penangkapan karbon atau teknologi pengurangan emisi lainnya untuk mengatasi masalah emisi, kata Menteri Energi India Raj Kumar Singh kepada wartawan setelah pertemuan tersebut.
Teknologi penangkapan karbon bertujuan untuk memerangkap karbon dioksida yang dilepaskan saat bahan bakar dibakar di berbagai lokasi termasuk pembangkit listrik, dengan tujuan membatasi dampak iklim.
Operasionalnya telah berjuang untuk mengatasi hambatan teknis atau mencapai skala besar, dan saat ini menghasilkan sekitar 0,1% emisi global setiap tahunnya. Para penggiat perubahan iklim mencemooh proses ini sebagai alasan bagi raksasa minyak untuk mempertahankan produksi bahan bakar fosil.
Peningkatan kapasitas energi terbarukan dipandang penting untuk membantu memenuhi target iklim karena pembangkit listrik menyumbang sekitar sepertiga emisi global.
Meskipun penggunaan tenaga surya dan angin di China mencapai rekor tertinggi, dan penerapannya semakin cepat di Eropa dan Amerika Utara, dunia masih sangat bergantung pada batu bara dan gas untuk menghasilkan listrik.
Konsumsi batu bara mencapai rekor tertinggi pada 2022 dan akan tetap pada tingkat yang sama tahun ini, Badan Energi Internasional (IEA) mengatakan pada Juli.
--Dengan asistensi dari Michael Nienaber dan Alberto Nardelli.
(bbn)