Kekacauan yang dimaksud adalah terkendalanya dari sisi produksi. Terlebih, bahan baku kosmetik didatangkan lewat jalur impor.
“Memang kita produksi di Indonesia, tetapi bahan baku kan dari luar, packaging kan dari luar, beberapa dari luar, kita enggak bisa [produksi sendiri]. Ya harus diakui kita juga enggak bisa mandiri sendiri,” ucap dia. Kebijakan perdagangan terbuka harus dimanfaatkan, seperti dalam bidang industri kecantikan.
Merujuk data Kementerian Perindustrian, nilai impor kosmetik nasional kerap lebih tinggi ketimbang realisasi ekspornya.
Misalnya, nilai ekspor produk kosmetik jadi pada 2021 sebesar US$435,51 juta. Setahun berselang nilainya naik menjadi US$428,34 juta. Pada posisi nilai impor tercatat US$637,33 juta di 2021, kemudian naik US$626,03 juta di 2022.
Sementara dari data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022 nilai impor produk dan bahan baku kosmetik Indonesia menembus angka Rp21,04 triliun.
Di bagian lain, makin merebaknya jenama kecantikan dalam negeri, Statista, memproyeksikan, pertumbuhan pasar industri kosmetik Indonesia dapat mencapai 4,59% per tahun selama rentang waktu 2023-2028.
Pertumbuhan pasar mencakup produk perawatan kulit (skincare) dan diri (personal care). Selain itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat pengusaha industri kosmetik mengalami kenaikan dari 819 unit usaha pada 2021 menjadi 913 unit usaha pada 2022. Terjadi penambahan 20,6%.
Artinya, produk kosmetik lokal tidak akan kalah saing dengan produk kosmetik luar negeri, seperti disampaikan Richard. Bagi dia, sebuah produk kosmetik tidak bisa dinilai dari asal negaranya. Parameternya adalah mutu, kualitas dan kreativitasnya.
“Mutu, kualitas, kreativitas, tetap itu akan dinilai, mau itu produknya dari Amerika sekalipun, ya kalau misalnya mutu dan kualitasnya enggak bagus, kreativitasnya yang bagus, orang enggak akan beli, “ tuturnya.
(yun/wep)