Bloomberg Technoz, Jakarta – Wacana pemadaman pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Suralaya —sebagaimana disampaikan oleh Menteri BUMN Erick Thohir— kemungkinan masih jauh dari realisasi, lantaran pemerintah tidak memiliki dana untuk pensiun dini pembangkit milik PT PLN (Persero) itu.
Dalam kaitan itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pensiun dini PLTU batu bara tidak semudah membalikkan telapak tangan.
“Ya sekarang sedang dikaji dengan baik. Early retirement [PLTU Suralaya] itu akan kita lakukan, tetapi siapa yang bayar? Itu lagi dihitung [biayanya] untuk [kompensasi ke] PLN. Namun, kalau early retirement yang harus bayar dahulu, duit-nya mana?” ujarnya ditemui di sela acara Bloomberg CEO Forum, Rabu (6/9/2023).
Lebih lanjut, Luhut menutup kemungkinan suntik mati PLTU Suralaya bakal menggunakan dana hibah senilai US$20 miliar (sekitar Rp305,9 triliun) dari skema Just Energy Transition Partnership (JETP). Terlebih, kebutuhan untuk pensiun dini PLTU di Indonesia mencapai sekitar US$100 miliar (Rp1,52 kuadriliun).
Belum lagi, dia mengatakan sampai saat ini waktu pencairan dana hibah tersebut tidak kunjung jelas.
“Ya JETP itu sampai sekarang belum tahu uangnya di mana. Kita [tunggu]. Mereka yang minta [agar Indonesia memensiundinikan PLTU batu bara], kita buat. Namun, mana duit-nya? Kan gitu?”

Sekadar catatan, PLTU Suralaya belakangan ini mendapatkan sorotan seiring dengan maraknya tudingan bahwa pembangkit berbasis batu bara merupakan salah satu biang keladi pemburukan kualitas udara di DKI Jakarta dan sekitarnya.
Terlebih, PLTU yang dikelola anak usaha PLN itu merupakan salah satu pembangkit batu bara dengan kapasitas terbesar di Indonesia.
Merespons hal tersebut, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyebut pemerintah berencana memadamkan PLTU Suralaya. Akan tetapi, dia sangsi hal tersebut akan efektif memperbaiki masalah polusi di Jakarta.
Erick mengatakan, meski pemerintah sudah berupaya mengurangi polusi dengan menyuntik mati sebagian PLTU Suralaya, langkah tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas udara yang masih buruk hingga kini.
"Oke, [mungkin] PLTU sekarang disalahkan. Kita matikan Suralaya 1,2,3, dan 4. Namun, di data terakhir, [penutupan PLTU itu] tidak mengurangi polusi ternyata," ujarnya dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR, Kamis (31/8/2023).
Selain itu, dia juga mendorong kepada perusahaan industri untuk menggunakan scrubber 'corong penampung' untuk mengurangi emisi.
Meski pemerintah mendorong percepatan pengatasan polusi dalam 3 bulan ke depan, Erick menyebut mengatasi polusi udara ini butuh waktu yang cukup lama.
"Kita sudah lakukan itu tetap kita ingin ada percepatan, Beijing perlu 6 tahun, Sao Paulo 10 tahun, Jakarta tidak mungkin dalam 3 bulan ini diselesaikan masalah polusi."
Untuk diketahui, PLTU Suralaya dibangun sejak 1982 dan berlokasi di Desa Suralaya, Cilegon, Banten, dengan nama PT Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkit Suralaya. Unit pembangkitan Suralaya pertama kali dibangun pada 1984 dengan 2 pembangkit dan terus ditingkatkan hingga menjadi 7 pembangkit dengan total kapasitas terpasang 3.440 megawatt (MW).
Kini, PLTU tersebut berkembang hingga mencapai 8 unit dan memiliki kapasitas hingga 4.025 MW.
Menurut catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PLTU tersebut juga memproduksi 50% dari total produksi PT Indonesia Power dan berkontribusi 18% terhadap pasok listrik di Jawa—Bali. Dengan transmisi sebesar 500 kV, pembangkit tersebut mengonsumsi batu bara kurang lebih 35.000 ton per hari.
(wdh)