Bagaimanapun, Luhut menyebut pemerintah tetap menyerahkan kepada PLN untuk menghitung dan menentukan tarif listrik untuk industri, sekaligus membahas bersama skema harga yang memungkinkan dan tepat.
"Kita minta PLN sekarang [menghitung besarannya] bisa sampai berapa harganya, supaya jangan dia rugi juga."
"Jadi kita berharap teman-teman menteri juga [mendukung upaya tersebut]. Saya sampaikan, pekerjaan ini maraton bukan pekerjaan seketika. Lihat China itu, 20 tahun baru bisa selesaikan. Terakhir itu 2013 sampai 2017. Selama 4 tahun itu mereka intensif sekali, kita juga akan nanti begitu juga," tutur Luhut.
Tidak Boleh Gegabah
Di lain sisi, pakar energi memperingatkan pemerintah agar tidak gegabah ‘memaksa’ penutupan PLTU berbasis batu bara milik industri agar beralih menggunakan fasilitas sejenis milik PLN.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan penutupan PLTU batu bara untuk industri perlu didiskusikan lebih lanjut dengan para pemilik dan penggunanya lantaran keberadaannya sangat memengaruhi produktivitas manufaktur.
“[PLTU industri memiliki] captive power-nya sendiri. Perusahaan, industri, dan pabrik-pabrik. Mereka biasanya punya pembangkit sendiri. Artinya, untuk stabilitas kegiatan produksi barang, mereka menggunakan pembangkit sendiri supaya bisa dikontrol agar tingkat kerugian –jika ada pemadaman dan sebagainya– bisa dikalkulasi. Tujuannya itu sebenarnya,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (5/9/2023).
Komaidi mengatakan terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pemerintah jika menghendaki industri beralih menggunakan PLTU milik PLN. Pertama, keandalan pasok pembangkit milik perusahaan pelat merah tersebut dalam mengaliri listrik skala industri.
Kedua, pertimbangan harga yang harus lebih kompetitif dibandingkan dengan menggunakan PLTU milik sendiri. “Ini perlu dihitung karena berpengaruh ke struktur biaya [industri]. Saya kira itu dari aspek ekonomi,” ujarnya.
Ketiga, dari aspek lingkungan, pemerintah perlu memastikan PLTU milik PLN lebih ramah daripada milik industri.
“Sebetulnya relatif karena kan sebagian besar, sekitar 70%—75%, lilstrik PLN diproduksi PLTU batu bara. Bahwa kemudian tidak 100%, iya betul, karena 30% diproduksi dari [sumber energi] lain; bahan bakar minyak, gas, energi terbarukan,” jelasnya.
Secara kasat mata, lanjutnya, bisa saja beralih menggunakan PLTU miliki PLN lebih ramah lingkungan lantaran PLTU milik industri mayoritas 100% berbasis batu bara dengan gas buang atau emisi lebih tinggi dibandingkan dengan milik PLN.
“Kalau [emisinya] diharapkan turun sedemikian rupa, saya kira gambarannya itu tadi; PLTU industri pakai 100% batu bara, sedangkan PLTU PLN pakai 70% batu bara. Lebih baik 30% dibandingkan dengan PLTU industri sendiri yang pakai batu bara,” terang Komaidi.
Di tempat terpisah, Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Wanhar menegaskan PLTU batu bara –khususnya yang dioperasikan PLN – sudah menerapkan standar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. 15/2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Terminal.
Sejak 2019, lanjutnya, Kementerian LHK memperketat baku mutu emisi dengan nilai konsentrasi parameter SO2 dan NOx sebesar 200 mg/Nm3, konsentrasi parameter PM sebesar 50 mg/Nm3 dan konsentrasi Hg sebesar 0,03 mg/Nm3.
"Indonesia terus berupaya untuk menerapkan baku mutu emisi yang lebih baik agar dapat bersaing dengan negara-negara yang sudah menerapkan baku mutu emisi [parameter SO2, NOx, Partikulat dan Merkuri (Hg)] untuk PLTU yang lebih ketat seperti China, Amerika Serikat dan Jepang," jelasnya melalui pernyataan resmi kementerian, Selasa (5/9/2023).
Menyitir data Global Energy Monitor, terdapat sekitar 16 PLTU berbasis batu bara yang berlokasi tidak jauh dari DKI. Sebarannya, terdapat 10 PLTU yang berada di Provinsi Banten, dan 6 lainnya di Jawa Barat.
(ibn/wdh)