“Permintaan minyak menuju rekor tertinggi, didorong oleh perjalanan liburan musim panas, peningkatan penggunaan untuk pembangkit listrik, dan bangkitnya aktivitas industri petrokimia di China. Sedangkan produksi dan stok berkurang drastis,” sebut laporan International Energy Agency (IEA), bulan lalu.
Pada akhir kuartal II-2023, lanjut laporan IEA, konsumsi BBM dunia mencapai rata-rata 103 juta barel/hari. Memasuki kuartal III-2023, konsumsi bisa lebih tinggi lagi.
China diperkirakan menyumbang 70% dari pertumbuhan konsumsi minyak. Namun di negara-negara maju, permintaan pun meningkat.
Dampak Buat Indonesia
Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak lebih mendatangkan mudarat ketimbang manfaat. Maklum, Indonesia adalah negara net importir minyak.
Pada Juli 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor migas Indonesia melonjak 40,94% dari bulan sebelumnya menjadi US$ 3,13 miliar. Sedangkan ekspor migas turun 2,61% ke US$ 1,22 miliar.
Bank Indonesia melaporkan, neraca migas pada kuartal II-2023 membukukan defisit US$ 4,33 miliar. Lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya yang minus US$ 3,98 miliar.
Defisit neraca migas menjadi beban bagi transaksi berjalan alias current account, yang membukukan defisit US$ 1,93 miliar (-0,55% dari Produk Domestik Bruto/PDB). Ini menjadi defisit pertama sejak kuartal I-2021.
Transaksi berjalan adalah fundamental dari nilai tukar mata uang. Sebab, transaksi berjalan mencerminkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa. Valas dari pos ini lebih bertahan lama dibandingkan pasokan dari investasi portofolio di sektor keuangan (hot money) yang bisa datang dan pergi sesuka hati.
Saat transaksi berjalan Indonesia defisit, tidak heran kalau rupiah melemah. Dalam sebulan terakhir, rupiah melemah 0,53% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Sepanjang Agustus, rupiah melemah 1%.
Bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023, kenaikan harga minyak juga berdampak negatif. APBN 2023 mengasumsikan rata-rata harga minyak di US$ 90/barel.
Setiap rata-rata harga minyak US$ 1 di atas asumsi, maka penerimaan negara bertambah Rp 3,3 triliun. Namun pada saat yang sama, belanja negara naik Rp 9,2 triliun sehingga menyebabkan tambahan defisit Rp 5,8 triliun.
Harga BBM Naik
Saat harga minyak dunia naik, harga jual BBM dalam negeri pun berpeluang naik, terutama yang non-subsidi. Ini sudah terjadi pada awal September.
Untuk harga Pertamax RON 92, naik menjadi Rp 13.300/liter yang sebelumnya Rp12.400/liter. Sementara itu, Pertamax Turbo juga naik menjadi Rp 15.900/liter dari sebelumnya Rp 14.400/liter.
Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, menyebut selisih harga antara BBM subsidi dengan non-subsidi makin lebar.
“Perhatikan melebarnya selisih harga antara Pertamax dan Pertalite. Ini akan membuat konsumen beralih dari BBM non-subsidi ke BBM bersubsidi,” sebut Satria dalam risetnya.
Dalam waktu dekat, lanjut Satria, mungkin dampaknya belum terasa karena BBM RON 92 ke atas hanya dikonsumsi oleh kurang dari 15% pelanggan. Namun jika harga minyak dunia terus naik sehingga harga BBM non-subsidi harus naik, maka selisih harga tadi akan kian lebar.
“Waspadai tekanan di neraca pembayaran dan anggaran negara pada kuartal IV-2023, karena akan berdampak terhadap nilai tukar rupiah dan belanja subsidi pemerintah,” sambung Satria.
(aji/roy)