Harga minyak dunia jenis Brent telah bertengger di atas US$ 90 per barel, tertinggi sejak November lalu, menyusul keputusan dua negara eksportir minyak yaitu Rusia dan Arab Saudi yang melanjutkan kebijakan pemangkasan produksi minyak mereka.
Pasar minyak dunia sejauh ini memperlihatkan pengetatan menyusul laju permintaan yang terus mendekati level rekor di tengah stok yang menurun. Perkembangan pemulihan ekonomi China yang suram dan seharusnya memengaruhi outlook permintaan minyak dunia, nyatanya tak mampu mencegah reli harga si emas hitam yang telah berlangsung sepanjang musim panas.
Pagi ini, rupiah langsung melemah ke kisaran Rp15.311/US$ ketika perdagangan baru berlangsung tak sampai 30 menit. Sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terlihat bergerak mengungguli tren kawasan dengan penguatan ke 7.010 pada pembukaan pasar.
Sementara itu di pasar surat utang, pemodal bertindak lebih preventif dengan melepas kepemilikan terindikasi dari kenaikan tingkat imbal hasil obligasi negara.
Yield SUN 10 tahun bergerak naik ke 6,482% pagi ini disusul tenor 5 tahun yang mencatat kenaikan imbal hasil ke 6,215%. Global bond pemerintah juga tercatat naik di mana yield 2 tahun ke posisi 5,221% dan 10 tahun di 5,49%.
Ancaman bagi Indonesia
Kenaikan harga minyak jenis Brent sudah berimbas pada harga bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia. BUMN migas PT Pertamina (Persero) mulai 1 September lalu telah mengerek harga BBM nonsubsidi dengan kenaikan cukup signifikan.
Untuk jenis Pertamax RON 92 naik 7,25% menjadi Rp13.300/liter. Sementara Pertamax Turbo naik 10,4% menjadi Rp15.900/liter. Sedangkan Dexlite naik Rp2.400 atau 17% menjadi Rp16.350/liter disusul Pertamina Dex yang naik terbanyak sampai Rp2.550 menjadi Rp16.900/liter.
Kenaikan harga BBM juga ditempuh oleh SPBU milik swasta seperti Shell, AKR dan Vivo. Shell Super kini dipatok Rp14.760/liter, sedangkan BP 92 juga naik menjadi Rp13.500/liter dan Revvo 92 yang dikeluarkan Vivo kini dihargai di Rp14.460/liter.
Harga BBM yang terus meningkat dikhawatirkan akan berdampak pada peralihan konsumen ke BBM subsidi jenis Pertalite yang sejauh ini diatur harganya di Rp10.000/liter. Catatan BPH Migas, sejauh ini realisasi Pertalite telah mencapai 19,27 juta kiloliter atau hampir 60% dari kuota 2023.
"Bila harga minyak dunia terus berlanjut, waspadai potensi tekanan pada Neraca Pembayaran dan APBN pada kuartal keempat, di mana itu bisa mempengaruhi prospek nilai tukar rupiah dan subsidi energi pemerintah," jelas Satria Sambijantoro, ekonom Bahana Sekuritas.
Harga minyak dunia yang makin mahal akan membuat kebutuhan dolar AS Pertamina dalam mengimpor minyak turut meningkat. Suplai dolar AS yang ketat dapat menyeret nilai tukar. Di sisi lain, potensi lonjakan konsumsi Pertalite juga berpotensi membengkakkan alokasi subsidi BBM yang membebani APBN.
Sebagai gambaran, kinerja transaksi neraca pembayaran RI pada kuartal II-2023 mencatat defisit US$ 7,4 miliar akibat dua komponen pendukungnya yaitu transaksi berjalan dan transaksi keuangan sama-sama terperosok minus.
Transaksi berjalan mencatat defisit US$ 1,9 miliar atau 0,5% dari PDB, jauh lebih besar ketimbang perkiraan ekonomi yang memperkirakan defisit hanya di angka US$ 200 juta.
Sementara defisit transaksi modal dan finansial lebih besar dengan angka mencapai US$ 5 miliar, setara 1,4% dari PDB setelah kuartal sebelumnya masih surplus US$ 3,7 miliar.
Untuk sisa tahun ini, analis memprediksi, tekanan terhadap neraca pembayaran akan terus membesar. Surplus transaksi berjalan diperkirakan semakin menyempit akibat kebutuhan impor yang kian tinggi sementara ekspor minyak sawit mentah CPO dan batu bara cenderung stagnan.
Pada saat yang sama, transaksi modal dan finansial akan semakin lebar defisitnya akibat kian sempitnya selisih imbal hasil investasi Indonesia dengan Amerika.
Kesemua itu akan memicu risiko lebih besar lagi bagi rupiah di sisa tahun ini.
Bank Indonesia dalam paparan di hadapan parlemen beberapa waktu lalu menyatakan, bank sentral berkomitmen menjaga rupiah bergerak di rata-rata Rp14.800-Rp15.200 per dolar AS tahun ini dengan prospek penguatan pada 2024 ke kisaran Rp14.600-Rp15.100 per dolar AS.
(rui)