Liu Pengyu juga merujuk pada kebijakan moneter yang ketat di banyak negara besar, terutama AS dan Uni Eropa, yang bertujuan memperlambat inflasi tetapi berisiko membuat negara jatuh ke dalam resesi ekonomi.
"Pemulihan ekonomi global telah rapuh dan negara-negara maju utama telah mengadopsi kebijakan-kebijakan kontraktif yang menyebabkan dampak-dampak yang meluas," ujarnya, seraya menambahkan bahwa pasar-pasar global masih belum stabil dan tidak dapat diprediksi.
Serangkaian data ekonomi Chin yang mengecewakan telah mendorong beberapa analis untuk memprediksi target pertumbuhan ekonomi China tahun ini sebesar 5% meleset. Kondisi ini disebut akan membuat China kesulitan untuk menjadi ekonomi terbesar dunia menyalip AS dalam jangka panjang.
Beijing telah mengambil beberapa langkah tambahan untuk mendorong pertumbuhan ekonominya, tetapi sektor perumahan yang sangat besar di negara ini, dan industri terkait dari semen hingga baja, terus merosot.
Di tengah perlambatan ini, pemerintahan Presiden Xi Jinping sejauh ini menolak untuk mengeluarkan paket stimulus besar-besaran untuk menghindari pendalaman utang negara.
Dalam komentarnya pada Selasa waktu setempat, Liu Pengyu menunjuk pada angka pertumbuhan produk domestik bruto resmi negara sebesar 5,5% pada semester pertama tahun ini, dan mengatakan bahwa China telah berjuang melawan headwinds (faktor-faktor yang menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi) dan bahwa pertumbuhan ekonominya tetap "lebih cepat daripada banyak negara maju lainnya."
- Dengan bantuan dari Enda Curran dan Jacob Gu.
(bbn)